Senin, 31 Mei 2010

Lovable (part 1)

*cowok nyebelin*

Suasana mal minggu siang ini tidak terlalu ramai, bahkan cenderung sepi. Kebiasaan belanja yang dulu hanya berpusat di pertokoan biasa, kini berpindah ke mal yang serba ada. Mulai dari makanan, pakaian, alat tulis, handphone, komputer, alat-alat elektronik, sampai semua perabot rumah tangga, semua ada disini. Suasananya pun asik, sejuk, dan sebagai pengunjung, gak beli apapun nggak apa-apa. Pokoknya beberapa tahun terakhir ini, mal jadi tempat favorit orang-orang Jakarta buat ngisi kegiatan, atau hanya untuk bersantai makan siang.
Andhita dan sahabatnya Keyra hari ini pergi ke mal khusus untuk membeli baju merek luar negeri yang lagi sale besar-besaran. Dari mulai 20% sampai 70%. Bukannya nggak mampu beli, tapi beli barang yang biasanya mahal dengan potongan harga yang gila-gilaan kan asyik juga. Zaman sekarang kan kita harus prihatin sama pengeluaran. Nah, bagi Andhita dan sahabatnya, ikutan belanja di saat sale juga prihatin namanya. Maksudnya, prihatin sama harga barang bermerek yang harganya selangit! Hehehe...
Walaupun sepi, alangkah kagetnya mereka ketika tiba di depan toko yang mereka tuju. Ternyata bukan hanya mereka berdua yang punya tujuan sama. Di dalam toko sudah banyak orang yang membeli.
Andhita dan Keyra saling menatap. “Rame banget Key!”
“Oke kalau begitu kita mencar aja Dhit. Lo nyari kaos yang lo incer itu, gue mao liat sepatu kets. Gimana?” Keyra melancarkan strategi.
“Oke!” Angguk Andhita sambil mengacungkan jempolnya. Mereka berdua pun menyebar di toko tersebut tanpa babibu lagi.
Tetapi memang bukan mereka saja yang punya rencana, semua orang juga. Jadi begitu Andhita masuk ke dalam, baju yang dia incar dipasangi label diskon 50% banyak orang yang menyerbunya.
Andhita sudah mengincar kaos putih yang bertulis merek terkenal dalam ukuran besar. Harga aslinya Rp159.000, tetapi setelah didiskon bisa jadi separuhnya. Dan setelah memakainya toh gak ada yang tahu kalau itu barang diskon, kan?
Tapi ternyata gak cuma dia yang mengincar kaos itu. Saat dia berhasil mengambil kaos itu dari gantungannya, ada tangan lain yang juga melakukan hal yang sama. Mereka saling menarik kaos itu. Andhita mengangkat wajahnya, ingin melihat siapa saingannya. Tatapannya tertumbuk pada cowok paling ganteng dan paling keren yang pernah dia dilihatnya. Wow! Andhita tertegun sesaat. Cowok itu juga menatapnya. Mereka berpandangan beberapa detik.
”Ini kan kaos cewek!” kata Andhita akhirnya, setelah berhasil mengusir pesona cowok itu dan membuangnya jauh-jauh. Ini sale man! Jangan terpikat oleh pesona wajah siapapun kalau mau dapat barang bagus. Gak ada deh dalam kamus Andhita terperangah sama cowok ganteng dalam perebutan barang sale.
”Siapa bilang cowok gak boleh beli kaos cewek?” seru cowok itu sambil menarik kaos yang dipegangnya.
Andhita mulai kesal. ”Tapi kan gue duluan yang pegang!”
”Sori yah, tapi gue duluan yang nempelin tangan gue di kaos ini!” ujar cowok itu gak mau kalah.
”Ngalah dong!”
”Kenapa gak lo aja yang ngalah?”
”Ladies first!”
”Gue paling gak suka sama cewek yang mau menang sendiri dengan ngebawa-bawa jenis kelamin. Katanya emansipasi…”
Andhita yang udah kesal langsung melepaskan tangannya dari kaus itu. Ya sudah, mending dia ngalah dari pada berurusan panjang sama cowok satu ini. Cowok nyebelin, rese, dan gak tahu malu. Ngapain lagian dia beli kaos cewek? Buat pacarnya? Lalu Andhita sadar, buat apa pula dia pusing-pusing mikirin hal sepele kayak gini? Mendingan dia cepat-cepat cabut dari situ!
Cowok itu mengejar Andhita dan menyentuh pundaknya. “Hei, jangan marah dong. Gue kasian sama lo. Nih, buat lo aja.” katanya sambil tersenyum manis.
Andhita sudah terlanjur kesal dengan insiden rebut-rebutan tadi. Lagipula kaos itu udah nggak narik minatnya lagi. Kaos lain kan masih banyak, walau beberapa gantungan dilihatnya sudah tampak kosong karena diambil pembeli lain. Kayak besok dunia mau kiamat aja, jadi duit dibuang-buang sekarang. Besok-besok juga bisa nyari lagi. Pikir Andhita.
“Nggak usah, gue gak jadi!” kata Andhita ngambek.
Cowok itu memaksa, “Lho, kok ngambek? Nih..buat lo aja.”
“Nggak jadi!” bentak Andhita.
”Wah! Elo jadi cewek kok galak banget?”
”Whatever!” kata Andhita sambil ngeloyor pergi. Dia menghampiri Keyra yang sedang mengantri di kasir membayar sepatu yang dibelinya.
“Lo gak dapet kaos yang lo pengen Dhit?” Tanya Keyra melihat Andhita gak bawa apa-apa.
”Ceritanya panjang, lagian gue udah gak minat lagi sama tu kaos. Mending belanja di tempat laen deh.” jawabnya sambil cemberut kesal.
***
Andhita celingak-celinguk mencari teman-temannya di kantin. Mana sih Keyra, Putri, dan Tasha? Katanya istirahat ini mau ngumpul buat ngomongin malam kesenian. Dasar tukang ngaret! Semprot Andhita dalam hati. Sendirian di kantin kan malu juga. Mana yang lain pada ngeliatin lagi. (padahal sih nggak. Andhitanya aja yang GR. Sindrom doang).
Hampir sepuluh menit teman-temannya gak dateng. Andhita memutuskan kembali ke kelasnya. Mungkin teman-temannya masih belum istirahat siang. Ketika ia berbalik, tubuhnya menabrak seorang cowok yang sedang membawa nampan berisi makanan. Nasi campur plus es buah yang dibawanya tumpah ke lantai. Andhita terpekik.
“Aduh, sori! sori! Gue gak liat. Sori banget ya.” katanya, dan langsung menunduk untuk memunguti pecahan piring dan gelas yang jatuh ke lantai. Tentu saja udah telat menyelamatkan makanannya. Semua udah tumpah ruah ke lantai. Kemudian petugas kantin datang dan membatunya membersihkan pecahan piring dan dan gelas.
”Elo beli lagi dih makanannya. Nih, pake duit gue aja.” Andhita merogoh kantong seragamnya, dan mengelurakan uang sepuluh ribuan, lalu menyerahkannya pada cowok di depannya. Ia mengangkat wajahnya. Dan betapa kagetnya dia saat melihat sorot mata dingin yang sudah dikenalnya.
”Elo lagi?” pekik Andhita kaget. Cowok yang ditabraknya tadi adalah cowok yang sama dengan yang ditemuinya di mal kemarin siang. Cowok yang sama sekali gak mau ngalah dengannya saat berebutan baju sale dengannya.
”Rupanya elo lagi!” desis cowok itu kesal.
Diam-diam Andhita tertawa dalam hati. Akhirnya dia punya kesempatan juga buat ngebalas keegoisan cowok itu. Tuhan memang adil!
”Sori, gue bener-bener gak liat lo di belakang gue. Biar gue beliin lagi yah? Tadi.. lo beli apa aja? Nasi campurnya pake apa? Ayam sama kentang pedes yah? Pake sambel lagi gak? Es buahnya pake semua? Apa gak mau pake bangkuang? Gue juga gak suka bangkuang, bisa alergi..” katanya asal.
“Nggak usah!” bentak cowok itu.
Andhita mengamati muka cowok itu. “Kayaknya elo anak baru ya? Kok gue belom pernah liat? Atau… lo anak kelas 1 ya? Pantesan gue gak pernah ngeliat lo. Oh ya kenalin, gue Andhita kelas 2 IPA 1. berarti gue kakak kelas lo dong..” Andhita terus nyerocos sambil mengulurkan tangannya.
Cowok itu gak ngegubris, dan malah ngeloyor pergi meninggalkan Andhita. Andhita menahan tawa. Sukurin! Emang enak? Dasar, belagu-belagu nggak taunya masih adik kelas. Masih bau kencur! Hahaha…!

_To be Continued_

Minggu, 30 Mei 2010

cewek agresif

“Dit, gue suka sama lo. Ma..mau gak jadi... pacar gue?” tanya Mia dengan wajah memelas.
Adit menatapnya bingung tapi serius.
“Atas dasar apa lo suka sama gue?”
“Mm... aduh susah dijelasinnya. Pokoknya gue suka semua tentang lo. Wajah lo yang ganteng, sikap lo yang misterius dan dingin, otak lo yang pinter, body lo yang oke. Everything about you, deh!” jawab Mia bersemangat. “Jadi gimana? gue siap kok menerima apapun jawaban lo.”
“Hmm...”
“Apa lo butuh waktu?”
“Yah mungkin besok gue udah bisa ngasih jawabannya, gak papa kan?”
“Oh, iya gak papa. Oke, gue tunggu jawabannya besok.”
“Gue balik duluan ya..” Adit naik ke motornya.
“Oke, daaah...” Mia melambaikan tangannya pada Adit yang sudah melesat jauh ke jalan. “Hhh...” Mia menunduk lemas. Dina berlari kecil menghampiri Mia. “Gimana Mi, berhasil enggak? jawaban dia apa?”
“Dia bilang dia butuh waktu. Mungkin besok baru ngasih jawabannya.” Mia menghela nafas panjang. “Gue salah ya nembak dia ya din? jangan-jangan dia ilfil sama cewek agresif kayak gue.”
“Lagian lo sih aneh-aneh aja suka sama cowok macem Adit. Dia tuh dingin ke semua cewek, eh lo berani-beraninya nembak dia. Perbedaan lo sama dia tuh jauh banget, kayak air dan api. Dia tuh cowok yang intelek, lo cuman cewek pinter rata-rata. Dia cool abis, lo selengean banget. Dia pembawaannya tenang, lo menggebu-gebu dan agresif. Pokoknya terlalu banyak perbedaan antara lo dan dia. Enggak bakal bisa cocok deh.”
“Tapi Din...”
“Udah deh, Mi, lo mendingan lupain dia. Cari cowok lain asal jangan dia. Dia gak mungkin suka sama lo. Gue tau banget cowok kayak dia pasti nyari cewek yang selevel sama dia. Dan elo tuh beda level sama dia.”
“Lu kok nakut-nakutin gue gitu sih? harusnya lo tuh ngasih gue dukungan dong!” seru Mia jutek.
“Gue cuman ngasih pendapat gue sebagai temen. Gue enggak mau lo nanti terluka gara-gara cowok gak penting itu.”
“Jadi Adit bakalan nolak gue besok?”
“Kemungkinan besar... iya lo siapin deh mental baja waktu dia ngasih jawabannya.”
“Aduuuh gue jadi takut menghadapi hari esok.” Kata Mia mulai panik.
“Tenang mi.. Lo harus menghadapi dia dengan kepala dingin. Mendingan kita pulang deh supaya lo bisa istirahat di rumah. Lo kan harus cukup istirahat untuk menghadapi hari esok.” “Hah? ya whatever!”
Mia mondar mandir di depan kelasnya menunggu Adit lewat. Dengan rasa cemas yang hampir membuat hatinya meledak, ia terus celingak celinguk mencari sosok Adit. Tak lama munculah Adit, sang pujaan hati. Mia langsung berdiri tegap dan merapikan dandanannya.
“Adit!” panggil Mia. Adit pun berhenti di hadapannya. Mia menariknya ke tempat yang agak sepi. “Gimana dit jawabannya?” tanyanya ragu.
“Mm... menurut gue sih, yaa kita jalanin aja.”
“Haa... ja-jadi lo mau jadi pacar gue?“
“Yaa... semacam itu.”
Hati Mia meletup-letup gembira. Saking senangnya ia sampai memeluk Adit sambil loncat-loncat.
“Mia,Mia stop!”seru Adit yang malu diperhatikan anak-anak yang lewat.
“So-sori,sori. Gue... gue seneng banget lo udah mau jadi pacar gue.”
“Ya udah, gue mau ke kelas dulu.”
“Oke. Bye. Oh ya ntar istirahat kita ke kantinnya bareng ya?” Adit hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
Mia masuk ke kelasnya. Ia melihat Dina sudah datang, langsung saja dihampirinya. “Dina...gue dah dapet jawabannya!” serunya sambil tersenyum-senyum.
“Dia mau jadi pacar lo?”
“Lo kok tau sih? Hehehe...iya, dia mau jadi pacar gue. Senengnya...sampe gak bisa gue ungkapin dengan kata-kata.”
“Selamet deh. Eh tapi kok bisa sih seorang Adit yang biasanya dingin sama cewek tiba-tiba nerima lo jadi pacarnya?”
“I don’t know. It’s miracle! udahlah gak perlu curiga terus sama dia. Yang penting sekarang dia udah jadi milik gue. Hahaha...” Mia tertawa puas.
Bel istirahat berbunyi. Mia langsung ngacir ke kelasnya Adit.
“Makan bareng yukk?” ajak Mia. Adit hanya mengangguk dan mengikutinya. Mereka makan di kantin sambil mengobrol. Pertamanya agak kaku, tapi kemudian Mia bisa mencairkan suasana dengan kebawelannya. Mia lebih banyak bicara daripada Adit. Paling Adit hanya mengangguk dan berbicara sedikit. Tapi Mia tetap tidak peduli, mungkin Adit hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengannya.
Pulang sekolah Adit harus latihan basket. Dengan setia Mia menungguinya di pinggir lapangan. Ia terus berteriak-teriak menyemangati Adit sehingga jadi pusat perhatian anak-anak lain yang juga latihan basket. Mia tidak peduli, ia tetap menyemangati Adit.
“Ayo Adit, kamu pasti bisa! go Adit, go Adit! Adit you’re the best.”

***

Tidak terasa minggu depan hubungan Mia dan Adit sudah genap satu tahun. Dan selama ini, selalu Mia yang agresif terhadap Adit. Setiap hari Mia mendatangi Adit untuk mengajak makan bareng saat istirahat atau pulang bareng sesudah bel pulang. Setiap kali Adit latihan basket, Mia selalu setia menunggui dan menyemangatinya di pinggir lapangan. Saat istirahat latihan, Mia segera mengelapi keringat Adit dan memberinya minuman.
Mia benar-benar mendominasi dalam segala hal. Bahkan yang mengajak jalan atau nonton di bioskop pun selalu Mia. Dan...Mia juga yang mencium Adit duluan saat first date mereka. Mia, Mia, Dan Mia. Adit tidak pernah berinisiatif sedikit pun untuk memulai sesuatu. Selalu saja Mia yang memulainya dan Adit tinggal mengikutinya saja. Meskipun Adit bersikap demikian, Mia tidak pernah marah karena ia sudah mengerti begitulah sikap Adit. Namun kadang terbesit juga keinginan Mia untuk dimanjakan oleh pacar sendiri.
Saat ini Mia sedang berada di kamar saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Mia membuka pintu dan akhirnya yang ditunggu datang juga. Dina.
“Hai Din. Masuk yuk oh ya ada apa sih tadi di telpon lo panik banget?”tanya Mia agak cemas.
“Adit Mi...”
“Kenapa Adit?”
Dina mengeluarkan Hpnya lalu menunjukkan beberapa foto. Di foto-foto itu Adit sedang bersama seorang cewek cantik dan terlihat intelek. Di salah satu foto nampak Adit sedang tertawa lepas bersama cewek itu. Hati Mia sangat terluka melihat semua itu. Adit tidak pernah tertawa seperti itu saat bersamanya.
“Tadi waktu gue lagi di mall sama nyokab, gue ngeliat Adit sama cewek itu. Langsung aja gue foto mereka diam-diam supaya ada bukti kalo dia itu selingkuh. Gue tau banget lo enggak bakal percaya begitu aja kalo gue bilang dia selingkuh.” Jelas Dina.
“Hik...kenapa Din? kenapa dia berpaling ke cewek lain? gue udah berusaha selalu ada buat dia, dan setia di sampingnya. Apa itu semua enggak cukup Din? hikz...”Mia mulai terisak.
“Mia buka mata lo. Udah gue bilang kan dari awal, Adit tuh enggak cocok buat lo. Terlalu banyak perbedaan antara lo dan dia. Dia enggak pernah sayang dan cinta sama lo. Dia cuma manfaatin lo aja selama ini. Lo sendiri kan yang bilang kalo dia itu gak pernah berinisiatif untuk memulai sesuatu. Selalu elo. Kenapa? karena lo yang cinta sama dia, sedangkan dia enggak pernah cinta sama lo.”
“Enggak gue sangka Adit tega berbuat seperti ini ke gue.” Mia menghapus air matanya. ”Udah gue putuskan, sampai di sini aja hubungan gue dan dia.”

***


Dear Adit,
Sebelumnya aku minta maaf enggak bisa ngomong langsung sama kamu, kaena hanya akan membuat aku semakin benci sama kamu. Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini aja. Aku udah enggak tahan dengan semua keegoisan kamu dan penghianatan kamu dengan cewek lain. Selama ini aku udah sabar menghadapi tingkah laku kamu yang cuek dan enggak pernah peduli sama aku. Tapi lama-kelamaan kesabaranku udah habis.
Aku baru sadar kalo sebenernya kamu enggak pernah sayang sama aku. Kenapa waktu itu kamu terima aku sebagai pacar kamu walaupun kamu enggak pernah tertarik sama aku Dit? seandainya saja waktu itu kamu bilang tidak, aku enggak akan pernah merasa sesakit ini sekarang. Dan sekarang aku putuskan semuanya sudah berakhir. Lupakan saja dengan apa yang telah terjadi diantara kita.

Mia

Adit melipat kembali surat dari Mia. Kemudian dia melihat satu-persatu foto-foto yang diselipkan bersama surat itu. Ia memasukkan surat dan foto itu ke dalam tasnya lalu berlari ke kelas Mia. Tapi terlambat, kelasnya sudah kosong. Ia berlari ke gerbang sekolah dan melihat Mia naik angkot bersama Dina. Langsung saja ia menuju motornya untuk mengejar Mia.
“Adit kamu mau kemana? sekarang kan waktunya latihan.” Tiba-tiba pelatih basketnya Adit muncul.
“Maaf pak saya enggak bisa ikutan latihan hari ini.”
“Kamu tidak bisa tidak latihan hari ini. Besok kita ada pertandingan penting. Besok adalah pertandingan final, ingat itu Dit. Apalagi kamu kapten, kamu harus tanggung jawab dong. Atau kamu...ingin saya gantikan dengan pemain lain?”
“Jangan Pak! oke, oke saya akan latihan.” Adit memarkir kembali motornya. Kemudian dengan berat hati ia mengikuti pelatihnya ke lapangan basket.
Istirahat tiba, Adit dan yang lainnya duduk di pinggir lapangan sambil ngos-ngosan. Teman-temannya sibuk mengelap keringat dan minum sebanyak-banyaknya. Adit merasa sangat haus, tapi tidak ada yang minuman untuknya. Mia yang selalu memberinya minuman kini sudah tidak ada lagi. Adit pun terpaksa membeli sendiri.
“Adit, sini kamu.” Panggil pelatih.
“Iya Pak ada apa?”
“Harusnya saya yang tanya, ada apa dengan kamu? permainan kamu tadi buruk sekali, padahal kemarin masih bagus. Kenapa kamu? sakit?”
“E-enggak kok Pak. Saya...Cuma lagi enggak mood aja. Tapi saya akan perbaiki kesalahan saya tadi.”
“Ya sudah begini saja, Lebih baik kamu sekarang pulang. Mudah-mudahan besok mood kamu sudah kembali baik. Latihan hari ini kita sudahi saja. Lagipula cuaca kurang mendukung.” Memang cuaca hari ini mendung dan mulai gerimis.
”Iya pak. Makasih pak.”
Adit kembali duduk di pinggir lapangan. Ia teringat Mia yang selalu menyemangatinya dari pinggir lapangan. Walaupun rasanya sudah tidak kuat berlari, tapi begitu mendengar teriakan Mia, Adit merasa berenergi kembali. Baru dirasakannya ia begitu sangat kehilangan sosok Mia yang selalu berada di sisinya. Dan detik itu pula dia sangat menyadari perasaan yang seharusnya dari dulu dia ungkapkan. Dia yakin kalau dia benar-benar sayang sama Mia dan gak mau kehilangan Mia.
Tanpa pikir panjang Adit langsung berlari ke parkiran mengambil motornya dan mengendarainya dengan cepat ke rumah seseorang yang saat ini sangat ingin sekali ia temui. Dia tidak peduli dengan hujan yang sudah mulai turun deras.

***

Mia terkejut melihat kedatangan Adit di rumahnya. Badannya basah kuyup.”A-adit!”
“Hai Mi,”sapa Adit.”Ng...a-aku ke sini mau tanya tentang surat yang kamu kasih tadi siang. Maksudnya apa, Mia?” Tanya Adit dengan raut yang sulit ditebak. Nafasnya tersengal.
“Masa kamu enggak ngerti juga? aku minta putus!”
“Alasannya?”
“Kamu nanya alasan? dengar ya, kamu bersikap egois dan enggak pernah berinisiatif duluan masih bisa aku tolelir. Tapi kamu jalan sama cewek lain. Aku bener-bener enggak bisa terima.” Kata Mia sewot.
“Mia dengar dulu, itu semua enggak seperti apa yang kamu kira. Cewek itu teman aku, Cuma teman, yang aku ajak nyari hadiah untuk merayakan satu tahun kita jadian. Udah itu doang enggak lebih.”
Air mata Mia mengembang. “Berani-beraninya kamu ngajak jalan cewek lain, padahal aku sebagai pacar kamu enggak pernah diajak jalan-jalan sekalipun. Kamu jahaaaat!!”
“Mia tenang dulu.”
“Aku enggak bisa tenang kalo kamu bersikap seperti itu. Sebenernya gimana sih perasaan kamu ke aku? jawab dengan jujur, sejak aku nyatain cinta sampe sekarang.”
“Oke, kalo kamu pengen aku jujur. Sebenernya waktu kamu nembak aku, aku enggak punya perasaan apa-apa ke kamu. Tapi karena ngeliat keberanian kamu mengungkapkan perasaan kamu ke aku, aku jadi nerima kamu. Aku bersikap egois dan enggak pernah mencoba untuk berinisiatif duluan karena......”
“Karena apa?”
“Karena kamu adalah pacar pertamaku. Makanya aku enggak tau kalo pacaran itu harus bagaimana. Lagian juga aku udah keenakan kamu manjain terus. Pokoknya, seiring berjalannya waktu aku sadar kalo kamu itu unik dan aku enggak ingin kehilangan kamu. Asal kamu tau aja, sehari tanpa kamu aku jadi kacau. Istirahat tadi aku enggak ke luar kelas gara-gara nungguin kamu yang enggak datang-datang. Terus tadi latihan basket jadi kacau karena enggak ada teriakan kamu yang bisa membuat aku jadi tambah semangat latihan. Dan yang penting......tanpa kehadiran kamu, semua yang aku lakukan jadi tidak berarti.”
Mia terpana mendengar penjelasan Adit. Ternyata di balik wajahnya yang terlihat dewasa dan sikap dinginnya, ia justru kekanak-kanakan. “Terus...mau kamu gimana sekarang?” tanya Mia.
“Aku ingin kamu kembali, Mia. Aku sayang banget sama kamu.”
“Baru kali ini kamu ngomong panjang lebar plus romantis.” Mia tersenyum. “kalo kamu mau aku kembali, kamu harus bisa merubah sikap kamu dan berinisiatif duluan oke?”
“Oke. Jadi sekarang kita pacaran lagi?”
Mia mengangguk.
“Yes,yes !!” Adit memeluk Mia sambil loncat-loncat.
“Adit apaan siiih. Baju aku jadi basah nih.”
Adit tersenyum lebar sambil mengeluarkan seuntai kalung. “Ini hadiah yang aku beli untuk kamu. Kalung ini juga sebagai tanda bersatunya lagi cinta kita.” Adit memakaikan kalung itu di leher Mia.
“Adit...makasih ya.”
“Sama-sama. Oh ya, gimana kalo hari minggu nanti kita nonton plus dinner.”
“Wow kamu udah cepet berubah ya? untuk pertama kalinya kamu ngajak aku jalan. Aku enggak bakal nolak dan melewatkannya.”
Adit mengecup kening Mia dan memeluknya erat. “Aku enggak mau kehilangan kamu lagi. Sayang...”
***

Kamis, 27 Mei 2010

izinkan nina memanggilmu ayah

Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran anda?
Berbagi dana, pakaian layak pakai, sembako, susu, makanan atau bentuk material lainnya. Jawaban itu boleh jadi karena pengaruh ide materilistik yang telah mengglobal. Mengukur segala sesuatunya dengan ukuran yang bersifat material dan kasat mata. Pengalaman nyata dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaran bahwa berbagi tidaklah mesti berbentuk material.

-ada sebuah cerita-

Setiap tahun, ayah saya punya kebiasan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survey untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

----------------

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, ayah saya bertemu dengan seorang bocah bernama Nina.

"Nina, apa yang anakku mau sayang?" begitu ayah saya membuka percakapan. "Nina mau baju baru?, sepatu baru?, tas baru? Atau apa nak?" tambah ayah saya.
"Nggak ah, ntar om marah" jawab Nina.
"nggak sayang, om tidak akan marah" ayah saya menimpali.
"Nggak ah, ntar om marah" Nina mengulang jawabannya.

Ayah saya berpikir, pasti yang diminta Nina adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan orang tua saya semakin menjadi.

Maka dia dekati lagi Nina sambil berkata, "ayo nak katakan apa yang kamu minta sayang.
"Tapi janji ya om tidak marah" jawab Nina manja.
"Om janji tidak akan marah sayang" tegas ayah saya.
"Bener om tidak akan marah' sahut Nina agak ragu.

Ayah saya menganggukkan kepala pertanda bahwa ia setuju untuk tidak marah.

Nina menatap tajam wajah ayah saya. Sementara ayah saya berpikir, apa gerangan yang diminta oleh Nina. Seberapa mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah? pikir ayah saya.

Sambil tersenyum orang tua saya mengatakan, "ayo nak, katakan, jangan takut, om tidak akan marah nak."

Dengan terus menatap wajah ayah saya, Nina berkata; "bener ya om tidak marah.???" Sekali lagi ayah saya mengganggukan kepala.

Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya "om, boleh nggak saya memanggil ayah?"

Mendengar jawaban itu, tak kuasa ayah saya membendung air matanya. Segera dia peluk Nina dan mengatakan "tentu anakku.. tentu , mulai hari ini Nina boleh memanggil ayah, bukan om."

Sambil memeluk erat ayah saya, dengan terisak Nina berkata "terima kasih ayah, terima kasih ayah"

Hari itu, adalah hari yang tak akan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu yang berbentuk material kepada Nina maka sebelum pulang, ayah saya berkata kepada Nina

"Anakku, sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi kemari bersama ibu, apa yang kamu minta nak?"

"Khan udah tadi, Nina sudah boleh memanggil ayah" sergah Nina.

"Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti akan ayah kasih." Sambil memegang tangan ayah saya, Nina memohon "nanti kalau ayah datang sama ibu ke sini, saya minta ayah bawa foto bareng ayah, ibu dan kakak-kakak, boleh khan ayah?"

Tiba-tiba kaki orang tua saya lunglai, dia terduduk, bersimpuh di depan Nina. Dia peluk lagi Nina sambil bertanya; 'buat apa foto itu nak?"

Tanpa ragu Nina menjawab "Nina ingin tunjukkan sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina."

Ayah saya memeluk Nina semakin erat, seolah ia tak mau berpisah dengan seorang bocah yang menjadi guru kehidupan di hari itu. Terima kasih Nina, walau usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta.

------------

Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan anda akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan anda di dunia.