Casting ala Rendy
SMU Pramita adalah sekolah yang cukup punya nama di kawasan Kelapa Gading. Tempat parkirnya luas, karena kebanyakan muridnya diizinkan membawa mobil oleh orang tua mereka, padahal tinggalnya di kompleks itu-itu juga. Susah sih, soalnya udah jadi budaya. Mami-mami mereka aja pergi ke salon naik mobil, padahal salonnya cuma beda satu blok. Malah ada siswa yang rumahnya tepat di seberang sekolah, pergi sekolah naik mobil. Jadi sebenarnya dia bisa tinggal nyebrang, paling hanya butuh satu menit. Coba kalau naik mobil. Dari masuk ke mobil, buka pagar rumah, jalan setengah menit, parkir mobil di halaman parkir sekolah, sama turun dari mobil, semua butuh sepuluh menit. Katanya demi gaya.
Lapangan olahraganya juga besar. Ada yang indoor, ada yang outdoor. Mungkin itu juga yang membuat anak-anak kompleks dan sekitarnya tertarik bersekolah di situ. Kelas satu ada enam kelas, kelas dua dan tiga ada lima kelas. Total siswanya sekitar lima ratus dua puluh orang.
SMU Pramita punya banyak fasilitas. Ada ruang perpustakaan, internet gratis, ada kamar mandi dengan shower buat mengantisipasi kalau ada yang ingin mandi setelah olahraga, meskipun jarang dipakai karena habis olahraga waktu sampai jam pelajaran berikutnya cuma lima belas menit. Juga ada loker. Tapi karena setiap hari memang ada PR dan ulangan, maka semua buku mau gak mau dibawa pulang. Jadi lokernya Cuma jadi sarang barang-barang gak berguna kayak novel, komik, yang bisa ditukarkan. Serta baju tambahan, in case kalau mau pergi ke mal pulang sekolah.
Khusus untuk pertemuan-pertemuan, dipakai aula besar. Aula itu terletak di lantai lima. Andhita dan empat sahabatnya sudah berjanji bertemu dengan Rendy di sana. Di dalam aula ada berbagai alat musik yang bisa digunakan kalau ada acara di sekolah, termasuk piano yang akan mereka butuhkan untuk ”casting ala Rendy” ini.
”Gimana nih? Janjinya jam dua belas, udah lewat lima menit kok belum datang.” Gerutu Keyra, yang terkenal tepat waktu.
“Baru lewat lima menit aja udah ngeluh. Rata-rata statistik jam karet Indonesia itu lima belas menit, tau gak?” Bela Tasha.
Keyra melirik jam tangannya. ”Wah, kalau begitu sepuluh menit lagi dong?” keluhnya.
Andhita mengunyah permen karet dengan seru, soalnya dia lagi lapar, belum makan. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, dia langsung kesini. Boro-boro sempat makan, minum aja gak keburu. Sekarang sang pengiring yang mereka tunggu belum tampak batang hidungnya. Tapi belum sampai sepuluh menit, seorang cowok dengan tinggi kurang lebih 190 centimeter, dan kalau Andhita gak salah duga, mendatangi mereka. Wajahnya ganteng mirip Christian Sugiono, tapi rambutnya lurus. Walau cuma mengenakan seragam sekolah, postur tubuhnya yang atletis jelas terlihat.
Andhita melongo, permen karetnya hampir aja jatoh dari mulutnya yang terbuka. Itu kan... cowok yang hari minggu kemarin berebutan kaos di mal dengannya, dan cowok yang bertabrakan dengannya di kantin sampai makanannya tumpah semua ke lantai. Astaga, tapi... bukannya dia anak kelas satu? Lalu Andhita teringat cerita Tasha kalau Rendy memang anak baru. Pantas dia belum pernah melihatnya.
Andhita membuang permen karetnya yang udah pahit ke dalam bungkusnya sambil pura-pura menunduk dan menyembunyikan wajahnya.
Putri menyenggol Tasha yang sedang menunduk tersipu malu. “Eh, elo kok gak bilang sih kalau orangnya cakep?”
“Gue udah bilang kemarin, kan? Elo aja yang gak percaya.” kata Tasha sambil menundukkan wajahnya yang merona merah.
Putri menatapnya heran. Rupanya Tasha lagi kasmaran. Nggak heran sih, Rendy emang cakep.
Cowok itu menatap mereka berempat dengan serius, tanpa senyum secuil pun! Walau sama-sama kelas 2 SMU, mereka berempat tampak seperti anak SMP yang berhadapan dengan mahasiswa. Semuanya diam sampai Putri memecah keheningan.
”Elo yang namanya Rendy, kan?” tanyanya.
Cowok itu mengangguk. “Elo yang namanya Andhita?”
Putri menggeleng. ”Bukan gue..”
”Siapa yang namanya Andhita?” tanya Rendy agak galak, tapi wajahnya penasaran.
Cowok ini kok lagaknya kayak guru yang mau menghukum muridnya sih? Batin Andhita. Belum apa-apa dia sudah ketakutan. Emangnya kemarin gue ngomong apa ya? Jangan-jangan ada yang ngebuat Rendy kesal lagi. Kalo dipikir-pikir, emang banyak sih yang bisa ngebuat rendy kesal sama dia. Jangan-jangan sekarang cowok ini mau balas dendam.
Andhita pelan-pelan mengacungkan tangannya. Rendy langsung memandangnya dan terkejut.
“Lho! Ternyta elo lagi?!” gumamnya.
Putri menyenggol Andhita. “Emangnya elo udah kenal dia Dhit?”
“Rupanya elo!” Kata rendy lagi. ”Siapa nama lo?” perintahnya seperti bos saja.
”Andhita.”
”Maksud gue nama lengkap lo!” serunya.
Buset! Galak amat, pikir Andhita. Dia jadi agak antipati sama cowok ini. Bukan gelagat baik nih. Andhita melirik Keyra di sebelahnya yang sedang bengong menyaksikan tingkah Rendy.
“Andhita Aradella Cahyadi.”
Cowok itu mengangguk-angguk. Lalu, seolah interupsi tadi gak ada, dia langsung melangkahkan kakinya ke piano dan membuka tutupnya.
”Kalian mau nyanyi lagu apa?” tanyanya.
Mereka berempat saling pandang. Apa-apaan nih? Mereka sedang mencari pengiring, bukan pemimpin, lebih-lebih provokator.
”Ng... kita kan belum saling kenal. Gimana kalau kita ngobrol-ngobrol dulu? Gue Putri, pemimpin vocal grup ini.” kata Putri sambil mengulurkan tangan.
Tanpa menyambut uluran tangan Putri, Rendy menyela, ”Gue udah tau semuanya. Elo Putri, dia Andhita, dia Tasha temen sekelas gue, satu lagi pasti Keyra. Kalian mau manggung di malam kesenian, nyanyiin satu lagu. Trus kalian butuh pengiring kan? Satu-satunya yang belum gue tau cuma lagu apa yang bakalan kalian nyanyiin di malam kesenian nanti.” tutur Rendy panjang lebar.
Keempat gadis itu saling pandang dengan bingung. Tiba-tiba Andhita maju, “Eh, denger ya. Kita berempat lagi nyari pengiring, bukannya memohon elo buat jadi pengiring kita. Yang bisa ngiringin masih banyak kok, bukan elo aja. Jadi orang kok sombong banget. Kalau begini terus, mendingan kita nggak jadi make elo!!” kata Andhita emosi dan tanpa basa-basi. Dia memang nggak suka konfrontasi. Tapi kalau sudah kelewatan, emosinya suka meledak-ledak seperti karbondioksida. Coca Cola yang kalengnya dikocok-kocok lalu dibuka.
”Uh, galak amat.” kata Rendy santai. ”Ya udah, kalian mau ngomong apa sih? Masalahnya, waktu gue juga gak banyak. Gue cuma punya waktu setengah jam buat latihan.” dia lalu duduk di bangku dan menumpangkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Dia memandang cewek itu dengan santai.
”Hei...” Andhita mau ngomel lagi, tapi Putri menahannya. Cewek berambut lurus sebahu itu maju ke depan.
“Rendy... itu nama lo kan? Begini aja, kita berempat mau nyanyi lagu A Whole New World yang jadi soundtrack filmnya Aladin. Ini partiturnya.” Putri menyerahkan selembar kertas pada cowok itu. “Kita gak mau muluk-muluk, tapi yang pasti kita nyari pengiring yang cocok dengan suara kita. Bukan yang main pianonya terlalu jago sehingga akhirnya meredam penampilan kita berempat, juga bukan yang permainan pianonya payah sehingga tidak sesuai dengan suara kita, tapi yang benar-benar bisa mengiringi! Jelas Putri. Yang lain mengangguk-angguk setuju.
”Karena itu, kata-kata elo yang kemarin udah disampein Andhita akan gue balik. Bukan elo yang akan mendengakan suara kita, tapi kita yang akan mendengarkan dan menilai permainan piano lo! Kata Putri dengan bahu agak bergetar.
Andhita ngerti banget perasaan Putri yang pasti takut-takut cemas. Soalnya kharisma cowok tampan di depan mereka besar juga. Tingkahnya juga nyantai dan nggak ada rasa takut sama sekali menghadapi empat oang cewek. Sebenarnya kalau mereka keroyok, Rendy pasti kalah, pikir Andhita nakal.
Rendy memandang ke atas seolah sedang mempertimbangkan kata-kata Putri. Tiba-tiba dia memandang mereka dan berkata, “Okay, it’s a deal!”
Dia menghampiri piano dan menekan tutsnya dengan cepat seperti pemain piano professional.
”Nadanya di mana?”
”Di D aja.” jawab Putri.
”Oke. Kalian mulai setelah gue kasih intro dikit yah?”
Rendy lalu memulai intro lagu A Whole New World dengan manis sekali. Mereka semua merasa takjub. Permainan piano seperti inilah yang mereka cari. Tidak terlalu menonjol, tapi sangat bagus.
”Mulai.” katanya.
I can show you the world, shinning, shimmering, splendid
Tell me princess now when did you last let your heart decide
I can open your eyes, take you wonder by wonder
Over side ways and under on a magic carpet ride
Tanpa meminta pertimbangan, Rendy langsung memainkan interlude saat lagu selesai dan memberi tanda bahwa mereka bisa menyanyikan bagian reffreinnya. Ketika selesai, tidak ada yang berani manyatakan pendapat. Rendy memang pantas menjadi pengiring mereka. Kata-katanya kemarin bahwa dia ingin melihat kualitas suara mereka itu benar. Tidak mungkin pemain piano setaraf dia mau mengiringi penyanyi asal-asalan. Dan mereka berempat jadi agak sedikit minder.
”Bagaimana?” tanya Rendy sambil menutup piano.
”Oke. Bagus banget. Permainan piano lo emang hebat.” Puji Putri.
”Thank you.” Jawab rendy tanpa bermaksud nyombong. Padahal sih.. iya.
Putri memandang yang lain dan berbisik-bisik dengan Keyra. Dia lalu memandang Rendy lagi.
“Begini deh. Kita memutuskan untuk menerima elo sebagai pengiring kita berempat. Tapi dengan satu syarat, elo harus hadir di setiap latihan.”
Cowok itu berpikir sesaat. “Oke. Gue cuma bisa menjanjikan seengah jam sepulang sekolah setiap hari selasa dan kamis. Ditambah latiha intensif dua hari berturut-turut menjelang malam kesenian.” kata cowok itu.
Putri berpikir sejenak. ”Oke. Kita terima.”
Rendy melirik jam tangannya. ”Sekarang gue pulang dulu. Udah waktunya gue les. Hari kamis gue dating ke sini on time. Sori tadi gue terlambat karena ada pembicaraan penting dnegan guru. Oh ya, gue saranin kalian juga latihan tanpa gue. Nanti gue rekamin permainan piano gue yang bisa kalian pakai buat latihan sendiri. Bagaimana?”
Putri terpaksa mengangguk lagi. Sebenarnya dia merasa sedikit terintimidasi, tapi mau gimana lagi?
”Oke. Kalau gak ada yang ditanyain lagi, gue permisi dulu. See ya!” katanya. Sebelum berlalu, cowok itu memandang Andhita dan memerhatikannya dengan cermat, dari atas kepala hingga ujung kaki. Andhita jadi malu sekaligus marah. Apa sih hak cowok itu menelitinya seperti menaksir nilai sebuah barang? Apa dia pikir dia itu cakep, jadi bisa seenaknya?
Sepeninggalan Rendy, semuanya jadi heboh.
”Gile banget, cowok kok nyebelin kayak begitu ya? Bisa tahan nggak ya, gue ngadepin dia?” seru Keyra yang tomboy dan nggak mempan sama cowok cakep biar cakepnya selangit, kebalikan dari ketiga temannya.
“Udah gue bilang, dia itu cakep dan pinter banget. Kelas gue aja semuanya ngeper sama dia.” timpal Tasha.
”Tapi...apa tindakan kita menerima dia udah benar? Masalahnya, dia itu terlalu otoriter dan ngatur kita terus. Bisa-bisa kalau nanti terjadi bentrokan, hubungan kita bisa buruk.” keluh Putri.
Andhita diam saja, sehingga ketiga temannya memandangnya, ”Kenapa lo diem aja Dhit?”
Andhita memandang mereka dengan muram. Dia lalu menceritakan pertemuannya dengan Rendy waktu rebutan kaos di mal dan waktu tabrakan di kantin sekolah. Lalu waktu menghubungi cowok itu di telepon, dia sama sekali nggak tahu bahwa Rendy itu ternyata cowok menyebalkan yang sama yang pernah ditemuinya sebelumnya. Parahnya dia mengira Rendy anak kelas satu.
”Gue gimana dong? Tadi gue udah maki-maki dia. Gue jadi nggak enak nih setiap kali ketemu dia…”
Keyra ketawa. “Elo juga sih, main marha-marah aja. Bukannya dengerin dulu keputusan Putri mau terima apa nggak.”
Andhita memandang Putri. ”Apa kita cari pengiring lain aja ya Put? Gue yang cari deh.. Please...”
Putri memandang Andhita tegas. ”Nggak bisa, Dhit. Kata-kata yang udah gue keluarin ibaratnya ludah, nggak mungkin bisa gue telan lagi. Sori, tapi memang dia pengiring yang tepat buat vocal grup kita.” Katanya sambil menepuk-nepuk bahu Andhita bak pemimpin partai yang sedang memberikan interuksi pada anak buahnya. Andhita mengangguk muram.
“Lagian juga...” tambah Putri, “…dia ganteng banget.” Katanya sambil mengedipkan mata, membuat yang lain jadi tertawa dan Andhita melotot sewot.
***
Hari rabu, saat istirahat pertama, Andhita sedang sibuk menyalin PR bahasa Inggris yang lupa dibuatnya. Padahal dia belum sarapan, jadi terpaksa dia menahan lapar sampai istiahat kedua. Sebenarnya Andhita paling nggak bisa nahan lapar, tapi... mau bagaimana lagi? Ketika dilihatnya Donny-cowok yang duduk dibelakangnya-sedang makan gorengan, dia langsung merebutnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
”Eh..tega banget lo Dhit! Gue masih laper nih.” Rintih cowok gendut itu. Andhita hanya tertawa sambil mengunyah gorengan yang memenuhi mulutnya hingga susah dikunyah.
“Andhita Aradella Cahyadi!” tiba-tiba terdengar sebuah suara di belakang Andhita yang membuatnya kaget. Ketika dia berbalik, dilihatnya Rendy sudah berdiri di hadapannya. Andhita langsung tersedak karena gorengan yang memenuhi mulutnya, jadi terpaksa sebagian dia muntahkan ke meja. Buru-buru dia mengambil tisu dan membersihkan meja.
Cepat-cepat diambilnya botol Aqua milik Emil di sebelahnya, dan langsung meminumnya hingga separuh habis. Gorengan yang tajam melukai tenggorokannya hingga terasa sakit. Dia memelototi Rendy yang sedang tersenyum memandangnya.
“Apa-apaan sih lo? Ngagetin orang aja!” seru Andhita.
Rendy hanya tertawa. Dia mengeluarkan sebuah kaset dan menaruhnya di meja, di dekat bekas muntahan gorengan tadi. Secara refleks Andhita membenahi rambutnya dengan kedua tangan, dan menyibakkan rambutnya ke belakang telinga. Tanpa sadar dia jadi mengkhawatirkan penampilannya. Mukanya keliatan berminyak gak ya? Rambutnya berantakan gak ya?
”Ini kaset rekaman permainan piano gue. Bisa lo pakai buat latihan.” jelas Rendy.
”Ng..kenapa lo kasih ke gue?”
”Gue kan udah kenal sama lo. Dan elo yang menghubungin gue pertama kali. Inget?”
Andhita jadi salah tingkah. Dia mengambil kaset itu dan memperhatikannya. Kaset yang diberi label A Whole New World. Niat amat.
Rendy tampaknya tidak ingin buru-buru berlalu. “Ngomong-ngomong, itu apa?” ujarnya sambil melihat PR yang sedang dikerjakan Andhita. “PR?” tanyanya.
Andhita langsung menutup bukunya. “Iya, tapi buat besok.” Katanya.
Rendy tertawa lagi, seolah tahu apa yang sedang dikerjakan Andhita. “Jangan terlalu ngoyo. PR kan bisa dikerjain di rumah.” Komentar cowok itu.
Andhita cemberut kesal. Cowok gak tahu diri. Benci sekali dia, entah kenapa. Pokoknya, sejak berbicara dengan Rendy di telepon, Andhita udah gak simpati sama cowok itu. Tiba-tiba Andhita merasa emosinya meledak lagi.
”Hei! Elo ini kenapa sih? Udah belom ngomongnya?” bentaknya. ”Lagian juga kenapa kaset ini gak lo kasih ke Tasha aja> kenapa malah ngasih ke gue?”
Rendy tersenyum menyebalkan. ”Tasha itu suka sama gue. Dia suka salah tingkah dan ngumpet-ngumpet gitu kalau ngeliat gue. Kalau gue kasih kaset ini ke dia, gue takut nanti dia bakalan salah paham. Makanya gue kasih ke elo aja. Elo gak mungkin punya pikiran seperti Tasha kan? Atau...” Rendy mendekatkan wajahnya ke wajah Andhita dan menatapnya lekat, ”Elo juga suka sama gue? Nggak usah malu, banyak kok cewek yang begitu. Gue...”
Wow wow wow! Apa-apaan nih? Andhita nggak pernah mendengar ada cowok yang bicara kayak gitu sebelumnya. Sombong banget! Andhita nggak tahan lagi. Dia pun berdiri. “Udah deh, pergi sana! Jangan kira karena Putri setuju elo jadi pengiring kita, gue juga setuju ya?”
Rendy tertawa. ”Elo setuju atau nggak, gue gak masalah. Toh gue dipilih secara objektif, bukan subjektif. Gue dipilih karena gue bisa.” Katanya tanpa berkesan sombong. Tapi Andhita tetap menganggap Rendy itu sombong banget!
Andhita sudah mau menyemprot Rendy lagi ketika seseorang memasuki kelasnya. Seorang cowok ganteng menghampiri mereka. Adit, sang ketua OSIS, anak kelas 3 IPS 2. cowok idola Andhita yang selalu membuatnya salah tingkah.
”Andhita! Gue mau minta konfirmasi nih. Elo jadi tampil di acara malam kesenian kan?” tanya Adit.
”Andhita merasakan wajahnya memerah. ”Oh, jadi Kak Adit...”
Tiba-tiba Rendy maju ke depan Adit dan mengulurkan tangannya. “Kenalin, gue Rendy dari 2 IPA 3. Gue yang akan jadi pengiring Andhita dan teman-temannya nanti.”
”Oh ya?” Adit tersenyum dan menyambut tangan Rendy. Kemudian dia kembali menatap Andhita. ”Dhit, kira-kira lagu yang bakalan lo nyanyiin itu berapa menit durasinya?”
Sebelum Andhita sempat menjawab, bahkan sebelum menghitung-hitung, Rendy langsung menanggapinya, ”Kira-kira lima menit. Ditambah masuk dan keluarnya penyanyi, tulis aja sepuluh menit.”
Andhita melotot. Sok tahu banget sih nih orang! Apa dia nggak bisa ngebaca suasana? Adit kan cuma nanya ke gue, pikir Andhita. Barangkali aja dia sedang cari-cari alasan buat PDKT sama gue!
Adit mencatat jawaban yang diberikan Rendy tadi di bukunya. Andhita mengerutkan bibirnya dengan jengkel.
”Oke deh. Kalau ada perubahan apa-apa, kasih tahu gue yah?” kata Adit lalu meninggalkan mereka pergi.
”Kok ngeliatin dia terus? Naksir yah?” pertanyaan Rendy mengagetkan Andhita.
Andhita tersentak. Tanpa sadar sejak tadi dia memang memerhatikan langkah Adit keluar dari kelasnya. Dengan pandangan memuja lagi!
”Apa-apaan sih lo? Emang apa salahnya gue suka sama dia?” gerutu Andhita.
”Suka juga gak apa-apa. Tapi gue nggak nyangka aja, ternyata selera lo rendah.” gumam Rendy.
”Apa? Selera rendah? Salah kali… yang seleranya rendah itu adalah cewek-cewek yang naksir sama elo!” seru Andhita.
Kriiiing…! Bel masuk berbunyi. Tuh kan, gue jadi gak sempet menyelesaikan PR gara-gara si kunyuk ini, batin Andhita marah.
Rendy hanya tertawa menyebalkan. “Gue balik dulu ke kelas.” Katanya.
Sebodo amat! Gerutu Andhita.
Sepeninggal Rendy, Andhita memikirkan kata-kata cowok tadi. ”Tasha itu suka sama gue. Dia suka salah tingkah dan ngumpet kalau ngeliat gue... elo juga suka sama gue...? tapi gue gak nyangka aja, kalau ternyata selera lo rendah...”
Keterlaluan! Huh! Andhita pengen banget muntah sekali lagi ke wajah cowok itu. Dia menyesal kenapa muntahan gorengan itu tadi nggak dia jejelin aja ke mulut Rendy. Cuih! Sombong! Besar kepala! Kurang ajar! Kalau nggak perlu-perlu amat, gue nggak akan memedulikan dia, janji Andhita pada dirinya sendiri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar