Selasa, 08 Juni 2010

Lovable (part 5)

Rahasia Itu

Andhita memandang dirinya di cermin. Rambutnya yang lurus, hitam, dan panjang baru saja dikeramas dan titik-titik air membasahi kausnya. Dia baru saja mandi sore. Sebagai cewek berusia tujuh belas tahun, dia merasa hidupnya amat sangat indah kecuali sedikit masalah yang mengganggunya akhir-akhir ini, yaitu masalah perjodohan yang membuatnya pusing kepala dan menimbulkan mimpi buruk di waktu dia tidur.
Kemarin saja dia mimpi menikah dengan pria bertopeng. Tapi begitu topengnya dibuka, ternyata pria itu tidak punya wajah. Kemarinnya lagi dia mimpi menikah dengan cowok ganteng mirip Tora Sudiro, tapi begitu kapal pesiar tempat mereka menikah berada di tengah laut, kapal itu tenggelam dan penumpangnya mati semua. Coba! Ini pasti gara-gara otaknya terlalu penuh dengan masalah perjodohan, jadi mimpinya aneh-aneh begitu.
Andhita sebenarnya cukup bahagia. Dia punya orangtua yang menyayanginya. Papa yang selalu sibuk di kantor, tapi sebelum makan malam pasti sudah pulang sampai di rumah. Mama ibu rumah tangga yang baik dan telaten mengurus keluarga hingga keluarga mereka tidak perlu memakai pembantu. Satu-satunya yang disayangkan adalah Andhita anak tunggal. Tapi melihat kasih sayang orangtua yang dilimpahkan hanya padanya membuatnya berpikir bahwa kesepian akan saudara bisa digantikan oleh teman-temannya yang baik.
Ketiga sahabatnya -Putri, Keyra, dan Tasha- adalah teman baiknya sejak SD. Mereka berempat tinggal di kawasan Kelapa Gading dan sejak SD bersekolah di sekolah yang sama di daerah itu juga.
Mereka berempat sama-sama kelas 2 SMU. Semuanya masuk IPA tapi kelasnya beda-beda. Hanya Putri dan Keyra yang sekelas di kelas 2 IPA 2. Andhita 2 IPA 1 dan Tasha kelas 2 IPA 3. mereka sering belajar bersama dan kebetulan sama-sama suka menyanyi. Sejak kelas satu SMU mereka membentuk vocal group yang sering mengisi acara sekolah. Guru-guru juga sudah tahu semua.
Andhita memandang wajahnya yang mungil. Banyak orang bilang dia cantik, tapi dia tidak terlalu PD dengan penampilannya. Terkadang dia malah menguatirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikuatirkan. Dia menyesalkan poninya yang dipotong rata di atas alisnya membuatnya terlihat seperti anak SMP. Terus, ada satu jerawat besar di pipinya yang terasa amat mengganggu. Mana bisa cowok seperti Rendy meliriknya?
Tapi kemudian dia tersadar, kok tiba-tiba dia teringat cowok itu ya? Andhita buru-buru menyisir rambut sekadarnya dan membubuhkan bedak bayi warna putih di wajahnya. Jangan-jangan gue udah terkena pesona Rendt yang katanya udah dialami banyak cewek. Terpesona sama cowok model Rendy? Cowok gak tahu malu dan sombong itu? Duh, jangan deh! Amit-amit!
Andhita buru-buru turun ke bawah menuju ruang makan untuk makan malam. Otaknya penuh dengan berbagai hal. Seandainya saja… bruk! Di dua anak tangga terakhir dia jatuh sebelum kakinya menjejak tanah.
“Auwww!!!” teriaknya.
Mama yang sedang menata meja makan buru-buru menghampirinya. ”Kok kamu nggak hati-hati sih?” omelnya.
Duh, Mama... bukannya kasihan, malah ngomel. Andhita mengusap-usap pergelangan kakinya yang membiru karena membentur lantai. Dia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Pergelangan kakinya terasa sakit sekali.
”Duh, sakit banget Ma!”
”Waduh... terkilir kali. Makanya hati-hati dong! Mana Papa belum pulang lagi.” Kata Mamanya. Dia memapah putrinya duduk di sofa ruang tamu.
”Bagaimana nih? Kamu benar-benar nggak bisa jalan? Kita tunggu Papa ya?” ujar Mama.
Andhita mengangguk. Pergelangan kakinya masih sakit. Tapi... nanti malam kan dia harus latihan?
”Duh, Ma... ntar malam kan Andhita harus latihan di rumah Putri. Gimana dong?”
”Ya nggak bisa dong. Kaki kamu kan sakit. Jalan aja nggak bisa, apalagi naik sepeda? Udah deh. Latihannya ditunda aja.” kata Mama.
Bertepetan dengan itu, Papa akhirnya pulang. Mereka langsung mengantar Andhita ke dokter untuk mengobati kakinya.
***
Sepanjang perjalanan pulang, Andhita melamun. Dia menatap jam tangannya, sudah setengah delapan. Lewat tiga puluh menit dari jadwa latihan. Apa masih keburu?
”Ma, anterin aku ke rumah Putri untuk latihan ya. Nanti Mama jemput Andhita lagi.” pintanya.
”Nggak bisa! Kamu harus istirahat. Kalau nanti kaki kamu bengkak dan harus diamputasi, gimana? Kamu gak punya kaki lagi, mau?” ujar Mama.
Andhita cemberut. Mama ini, masih nyangka Andhita anak kecil, kali... yang bisa ditakut-takuti begitu. Tapi Andhita kemudian berpikir, memang sudah terlambat sih untuk latihan.
”Pa, pinjam handphone dong, mau telpon Putri.” Katanya.
Papa mengeluarkan handphone dari balik saku kemejanya dan memberikannya pada Andhita. Andhita langsung menelepon rumah Putri.
”Halo? Putri ya? Andhita nih.”
”Andhita, elo kemana aja sih? Kita semua nungguin lo tau?” semprot Putri.
”Sori. Gue tadi jatoh dari tangga. Kaki gue terkilir. Kata dokter dalam dua hari mungkin udah pulih. Hari ini gue nggak bisa ikut latihan. Gimana ya, Put? Padahal besok Rendy latihan sama kita kan? Kalo gue nggak bisa terus dia marah-marah, gimana dong?”
”Oh ya, Rendy ada di rumah gue sekarang. Sekarang gue, Keyra, Tasha, sama dia lagi latihan.”
”Apa?!! Rendy datang? Katanya dia cuma bisa datang dua kali seminggu?!” teriak Andhita.
”Iya, dia datang. Gue juga gak nyangka dia tahu rumah gue. Mau ngomong sama dia?”
“Are you crazy?” seru Andhita. “Nggak usah ah. Gue cuma bingung aja kok dia bisa dating latihan. Bukannya dia bilang jadwalnya penuh?”
Putri tertawa. “Dia bilang dia pengen tahu bagaimana kita latihan tanpa dia. Dia takut kita gak bisa tampil bagus di acara malam kesenian nanti, jadi dia datang mengontrol. Oh ya, dia mau bicara sama lo sekarang...”
”Apa?! Gue gak mau...gue nggak...”
Putri tidak peduli. Rupanya dia sudah mengoper gagang telepon ke Rendy. Suara cowok itu sudah terlanjur terdengar di telepon, dan Andhita tidak bisa pura-pura telepon terputus dengan alas an sinyal jelek karena Rendy sudah mendengar kata-katanya.
“Apanya yang nggak mau? Lo nggak mau ngomong sama gue?” kata cowok itu.
Andhita terdiam. Dia menyusun kata-kata di otaknya. Apa yang sebaiknya dikatakannya agar suasana di antara mereka tidak canggung lagi? Dan dia nggak mau berantem lagi, sungguh! Kalau menyadari bahwa dia bakalan sering banget ketemu sama cowok ini, pasti sudah berusaha menyusun kata-katanya kemarin.
”Oh ya? Kata Putri lo jatuh ya? Apa pura-pura karena nggak mau datang latihan?”
Andhita menahan napas karena kesal. Tuh kan! Rupanya bukan dia yang harus menahan diri dan mengontrol mulut.
”Kata siapa gue pura-pura? Apa elo mau ngeliat sendiri keadaan gue?” katanya sebelum sadar bahwa mereka lagi-lagi bertengkar.
”Boleh. Rumah lo nomor berapa? Jauh gak dari rumah Putri?”
Andhita melotot. Benar-benar cowok aneh! Apa dia gak bisa membedakan mana pernyataan sungguhan dan main-main? Tapi kalau Rendy benar-benar datang terus mama dan papa melihatnya, jangan-jangan orangtuanya akan berpikir yang bukan-bukan tentang hubungan mereka. Andhita melembutkan suaranya dan berkata dengan manis, “Nggak usah, Rendy…Many many thanks atas simpati lo. Tapi besok gue udah bisa ikut latihan di sekolah. Selamat malam!” cepat-cepat ditekannya tombol untuk mengakhiri pembicaraan.
”Rendy?” tanya Papa Tere penuh rasa ingin tahu.
Andhita diam saja. Tuh kan... baru nama saja sudah bisa memercikkan gosip. Apalagi kalau ada orangnya. Bisa heboh. Belum lagi ketampanannya... duh, lagi-lagi gue mikirin soal itu. Kenapa sih? Tanya Andhita dalam hati.
”Siapa Rendy?” tanya Mama.
”Teman sekolah. Cowok nyebelin yang ngiringin kita latihan,” jawab Andhita sambil mengembalikan handphone Papanya.
”Oh, yang kamu ceritakan pada Papa waktu itu?”
Andhita benar-benar sudah lupa bahwa dia pernah cerita tentang Rendy pada Papanya, tapi dia hanya mengangguk saja.
”Oh... Mama pikir kamu sudah punya pacar. Ingat calon tunangan kamu ya Dhit! Kamu kan sudah setuju untuk mencoba ketemu dengannya dulu, coba, nanti apa pendapatnya kalau tahu kamu sudah punya pacar?” ujar Mama bawel.
Andhita menghela napas dengan kesal. Mama dan Papa ini kenapa sih? Soal perjodohan ini kok disebut-sebut terus? Andhita jadi makin sebal saja entah mengapa.
”Oh ya, besok Mama akan mengajak kamu mencari gaun untuk makan malam bersama keluarga Om Seno hari sabtu ini. Pulang sekolah Mama jemput ya?” tanya Mama.
”Nggak bisa Ma! Andhita kan ada latihan.”
”Lho? Nanti bajunya bagaimana?”
Andhita berpikir sejenak. ”Andhita kan bisa pakai gaun hitam bekas tahun baru kemarin Ma. Bagus juga kan...?” ...sebagai baju berkabung? Lanjut Andhita dalam hati.
”Nggak kesempitan Dhit? Berat badanmu kan sudah bertambah beberapa kilo sejak tahun baru kemarin.”
Duh, Mama... please dong! Apa Mama gak tahu kalau remaja cewek paling anti membicarakan berat badan?
“Andhita kan cuma nambah beberapa kilo doang Ma. Bukannya melembung kayak balon.” Ujar Andhita kesal.
Mamanya tertawa. “Ya udah, kita beli bajunya lain kali aja, untuk pertemuan berikutnya dengan keluarga Om Seno.” kata Mama.
Pertemuan berikutnya? Mau berapa kali ketemu sih?
”Pertemuan berikutnya? Jangan ngomong sekarang deh ma...Andhita jadi pusing nih.”
Mama Andhita memandang putrinya sambil tersenyum. Andhita merasa kedua orangtuanya iseng juga, suka menggodanya. Ah, seandainya tidak harus ada perjodohan...
***
Setibanya di rumah, kejutan sudah menunggu Andhita. Rendy berdiri di depan pintu pagar yang terkunci sambil duduk di atas pilar beton yang bisa diduduki Andhita bila sedang menunggu dibukakan pintu oleh mama. Cowok itu bangkit berdiri begitu melihat mobil Andhita berhenti di depan rumah. Rendy mengenakan kaus biru garis-garis warna merah dan celana jeans. Rambutnya yang biasanya lurus jatuh saat ini diberi gel hingga berdiri mengikuti gaya penyanyi R&B. ketampanannya membuat jantung Andhita berdegup kencang. Gawat! Cowok itu mulai tebar pesona lagi!
“Rendy?!” ujar Andhita dengan cuara tercekat. Cowok aneh itu benar-benar dating ke rumahnya. Sungguh menyebalkan dan menyusahkan pula. Apa yang bakalan dipikir sama kedua orangtuanya bila melihat cowok itu ada di sini? Jangan-jangan benar-benar disangka pacarnya, lagi.
“Itu yang namanya Rendy?” Tanya Mama lalu turun untuk membuka pintu pagar. Dari dalam mobil Andhita melihat Mamanya mempersilahkan cowok itu masuk.
”Mau apa dia kemari Dhit? Dia benar temanmu?” tanya Papa dengan tatapan menyelidik.
”Benar Pa, Andhita juga baru kenal sama dia beberapa hari yang lalu. Tadi sih di telepon dia memang bilang mau datang menengok apa Andhita benar-benar sakit. Tapi Andhita nggak nyangka, dia benar-benar datang kemari.”
Papa menggeleng-gelengkan kepala sambil menyetir mobilnya masuk ke dalam rumah. “Gawat, kali ini gawat. Anak muda itu benar-benar ganteng. Bisa-bisa kamu jatuh cinta sama dia.”
Andhita mendengus. ”Huh, Papa pikir Andhita apaan? Gampang jatuh cinta, begitu?”
”Maksud Papa, kalau nanti calon tunanganmu kurang ganteng, kamu pasti akan membanding-bandingkannya dengan Ren..Ren..??”
”Rendy Pa! Tapi terus terang aja, ide perjodohan ini benar-benar buruk, Pa! It’s very bad.” Tandas Andhita.
Papanya tak menjawab dan membuka pintu mobil. Dia lalu membantu Andhita keluar dari mobil dan memapahnya masuk ke dalam rumah.
“Sekarang lo puas kan, udah melihat gue begini? Elo gak lagi nyangka gue bohong, kan?” ujar Andhita pada Rendy ketika mereka sedang duduk berdua di ruang tamu. Papa dan Mama pura-pura sedang membaca buku dan nonton TV di ruang tengah, tapi mereka dalam posisi yang bisa melihat segala sesuatu yang dilakukan Andhita, bahkan jika Andhita bergerak sedikit saja pasti ketahuan. Hmm, sok detektif! Pikir Andhita kesal.
Rendy tertawa. “Ya, gue udah puas. Berarti kedatangan gue malam ini ke sini nggak sia-sia.”
”Latihannya udah selesai?” tanya Andhita.
”Udah. Vokalisnya cuma bertiga, jadi gak seru. Nggak lengkap.”
“Memangnya rumah lo dimana sih?”
“Sunter”
“Hah? Jauh banget! Terus, lo naik apa ke sini?”
“Dianterin sopir. Nanti dia jemput gue lagi di sini kira-kira...ng...” Rendy melirik jam tangannya, ”Kira-kira seperempat jam lagi.”
”Terus kenapa lo ke rumah Putri? Hari ini kan bukan jadwal lo datang?” tanya Andhita lagi.
”Yah, seperti yang dibilang Putri tadi, gue cuma mau ngeliat seperti apa latihan kalian. Tapi terus terang aja, karena kalian memecah empat suara, jadi ketika elo gak ada tadi rasanya ada yang janggal sama lagu itu.”
Hidung Andhita kembang kempis karena bangga.
”Ya terang aja. Elo pikir cuma suara satu yang paling penting?”
Mama Andhita bangkit berdiri dari sofa ruang tengah dan berkata keras, ”Ehmm.. udah malam, Dhita! Mama udah ngantuk nih. Kamu jadi gak ikut Mama belanja besok? Beli baju buat pertemuan kamu dengan calon tunanganmu?”
Andhita merasa mukanya merah padam sampai terasa panas.
”Tunangan?” bisik Rendy.
”Jangan dengerin nyokab gue!” bisik Andhita. Kalau berita ini sampai bocor ke telinga teman-temannya, entah mau ditaruh mana mukanya.
”Andhita, sebaiknya sebelum makan malam dengan calon tunanganmu nanti, kamu facial atau luluran dulu atau apa dulu kek, biar tambah segar...” timpal Papa dengan suara yang sama kerasnya.
Andhita memutar kedua bola matanya. Duh, please dong! Penting nggak sih ngomongin gituan? Mama sama Papa kok kayak anak kecil aja. Malu-maluin.
”Facial? Luluran?” tanya Rendy dengan ekspresi ingin ketawa.
“Jangan Tanya!” desis Andhita. Duh, masih sepuluh menit lagi sopir Rendy baru datang. Masih berapa kalimat lagi yang bisa diucapkan Papa sama Mama? Masih berapa kata memalukan lagi?
”Kenapa sopir lo nggak datang-datang sih?” tanya Andhita, sama sekali tidak menyadari pertanyaan itu bisa menyakiti hati Rendy.
”Kenapa? Elo gak senang gue datang ke sini?” kata cowok itu kaku.
”Sori, maksud gue bukan begitu. Tapi kan kasihan elo...sekarang udah malam.” ujar Andhita.
Rendy tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke telinga Andhita sehingga Mama Papa yang sedang mengawasi dari sudut mata mereka bersiaga.
”Hmm...” geram Papa.
”Ehm..” Mama ikut berdeham.
”Eh, elo jangan GR ya. Elo pikir gue ke sini mau ngapelin lo? Jangan salah! Gue cuma mau ngebuktiin kalau elo benar-benar nggak bolos latihan.” bisik Rendy.
Andhita merasa kupingnya panas mendengar bisikan itu. Dia balas mendekatkan bibirnya ke telinga Rendy.
“Hmm…” geram Papa lagi.
“Ehm…” Mama pun berdeham sekali lagi.
“Eh, elo juga jangan GR ya.” Balas Andhita. “Gue bukannya GR sama lo. Enak aja! Kalau emang lo naksir sama gue, bilang aja! Nggak usah ditutup-tutupin. Tapi lo kayaknya percuma deh. Soalnya gue udah punya tunangan.” kata Andhita.
”Tunangan? Masih kecil udah tunangan? Apa gak takut MMBA?”
”Apaan tuh? Married by accident?” bisik Andhita.
“Bukan. Menikah Muda Benar-benar Asik.”
Andhita melotot. Ini benar-benar konyol!
”Heh, gue bukannya mau tunangan sendiri. Gue dijodohin!”
Rendy mencibir, ”Apalagi dijodohin! Apa elo nggak bisa nyari pacar sendiri? Atau... belum pernah ada yang nembak lo?”
Andhita gusar ”Heh...!!”
“Tapi elo ini tipe cewek macam apaan? Udah punya tunangan kok masih ngelirik cowok lain.”
“Cowok lain?”
“Iya. Cowok yang kemarin datang ke kelas lo, siapa tuh namanya? Didit?”
”Adit!” desis Andhita. Enak aja ganti nama orang seenaknya.
Rendy tertawa. “He he he… iya! Benar kan? Elo suka sma dia, atau cuma cari labaan?”
”Ngaco! Dia itu kan ketua OSIS yang lagi ngurusin acara malam kesenian...”
”Kok nyariinnya elo? Bukan Putri?”
Iya juga ya? Batin Andhita. Tapi dia senang dan GR juga sih. Kenapa yah si Adit nyari gue, bukannya Putri?
”Senyum-senyum! GR ya?” ledek Rendy.
Andhita melotot. Nih cowok nggak punya aturan banget sih!
Tin! Tin! Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Itu pasti mobilnya Rendy. Sopirnya aja nggak punya sopan santun, ngelakson kok sekeras itu. Apa disangkanya orang di kompleks ini budek semua? Andhita ngedumel dalam hati.
”Tuh, mobil lo udah datang! Udah puas kan? Gue benar-benar jatoh.” Tegas Andhita.
“Ya, gue udah puas. Besok jangan lupa latihan. Jangan jadiin sakit lo ini sebagai alasan.” kata Rendy menyebalkan. Dia lalu pamit pada kedua orangtua Andhita.
***
”Mama sama Papa apa-apaan sih? Ngapain bilang-bilang ke Rendy kalau Andhita udah punya calon tunangan? Ketemu aja belom!” ujar Andhita marah ketika mereka sedang sarapan keesokan harinya. Kemarin Mama sama Papa mungkin merasa bersalah, makanya mereka berdua langsung masuk ke kamar jadi Andhita nggak sempat protes.
”Ngomong-ngomong, cowok yang kemarin datang itu cakep juga ya?” ujar Papa.
“Jangan ngalihin pembicaraan deh!” kata andhita ketus. Mama menyodorkan segelas susu ke depan Andhita.
”Jangan begitu sama orangtua! Kamu kan udah janji kalau kamu mau ngeliat dulu seperti apa calon tunanganmu itu. Bagaimana kalau kamu keburu kepincut sama cowok ganteng kemarin?” tanya Mama.
”Masalahnya bukan itu Ma! Rendy juga nyebelin. Andhita nggak bakalan kepincut deh sama dia. Tapi masalahnya sekarang, dia jadi tahu kalau Andhita dijodohin, sementara Andhita nggak mau kalau teman-teman Andhita pada tau!” ujar Andhita, lalu menggigit besar-besar roti isi selai kacang.
”Mana mungkin dia cerita-cerita sama orang? Memangnya cowok suka ngegosip?” Tanya Papa.
“Huh, Papa nggak tau sih! Rendy itu cowok nyebelin. Andhita yakin dia masih punya sederetan sikap menyebalkan lainnya. Siapa yang bisa menjamin dia nggak suka gosip?” Andhita meminum susunya banyak-banyak.
”Kalau begitu, cowok macam Rendy jangan kamu dekati! Kamu sendiri yang bilan sifat dia jelek!” kata Papa.
Glek! Andhita tersedak susu yang diminumnya dan sebagian tersembur ke meja di hadapannya. Dia memutar kedua bola matanya karena kesal. ”Justru itu bukan masalahnya, Pa! Papa sama Mama ngerti nggak sih? Masalahnya sekarang Rendy tahu kalau Andhita udah dijodohin! Nanti kalau dia cerita sama teman-teman Andhita gimana?”
Papa tersenyum. ”Kalau begitu ya nggak apa-apa. Memangnya kenapa kalau mereka tahu kalau kamu sudah dijodohkan? Sudah seharusnya kan mereka bersikap dewasa.”
Andhita mengatupkan bibirnya karena jengkel. Masalahnya bukan sikap dewasa atau tidak dewasa. Lagipula, dia jadi bahan ejekan atau nggak di sekolah, Papa sama Mama nggak ngerasain kan? Yang ngerasain Andhita sendiri!
”Andhita,” panggil Mama. Andhita melihat mamanya menatapnya serius. ”Kamu nggak punya hubungan apa-apa kan dengan cowok bernama Rendy itu?”
Andhita menggeleng kuat-kuat.
”Bagus. Kalau kamu sampai ketahuan punya hubungan dengan Rendy dan memengaruhi perjodohan yang kami lakukan, Mama akan melarang kamu latihan nyanyi di rumah Putri lagi. Mengerti?!”
Mata Andhita membelalak. ”Mama apa-apaan sih? Ceritanya maksa nih?”
”Andhita, Mama kan sudah bilang, perjodohan ini sangat penting bagi Papa. Lagipula, kamu tahu nggak... teman papa itu sangat kaya, dan perusahaannya sangat besar, punya banyak koneksi dengan rekan bisnis luar negeri. Ini benar-benar jodoh yang sangat baik buat kamu!”
”Mama kok jadi matre begitu sih?” kata Andhita bingung campur marah. Rot selai kacang dan susu yang bercampur aduk di perutnya mulai membuatnya sakit perut. Tapi dia mesti menuntaskan masalah ini dulu.
”Bukan begitu Andhita... biar Papa sama Mama terus terang saja.” kata Papa. ”Teman Papa itu berjanji untuk menginvestasikan dana yang lumayan banyak untuk perusahaan kita. Sahamnya akan sangat membangun. Kalau perjodohan ini gagal sebelum menginvestasian itu masuk ke perusahaan Papa, ya rugi dong!” timpal Papa.
”Lho! Beban Andhita kok jadi semakin berat ya Pa? Berarti Papa sama aja menjual Andhita demi saham teman Papa itu! Jadi Andhita seharga dengan uang invest yang akan masuk ke perusahaan Papa?” Andhita nggak bisa terima kalau orangtuanya ternyata matre.
”Bukan bagitu. Papa hanya ingin proyek ini berhasil. Kalau memang kamu nggak suka sama calon tunanganmu itu, ya nggak apa-apa. Tapi sekarang-sekarang ini jangan menolak dulu ya.”
Andhita mendengus. Baru kali ini dia tahu bahwa lika-liku menjadi orang dewasa itu sangatlah rumit dan menyebalkan.
”Udah ah, Andhita sakit perut! Mau ke WC dulu!” teriaknya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar