Pengumuman Misterius
Setibanya di sekolah, Andhita bingung melihat teman-temannya memperhatikannya sambil berbisik-bisik. Tatapan mereka aneh. Andhita sampai mengeluarkan kaca kecil dari dalam tasnya untuk melihat apakah penampilannya ada yang aneh atau lain dari biasanya. Tapi biasa-biasa saja kok, nggak ada yang aneh. Rambutnya memang hari ini dikuncir dua, tapi sah-sah saja kan? Kalau memang dikuncir dua jadi kelihatan aneh dan sok imut, besok dia nggak mau dikuncir dua lagi.
Tapi tatapan-tatapan itu terus berlangsung sepanjang jalan. Dia jadi bertanya-tanya. Apa karena gaya jalannya yang terpincang-pincang? Tapi sejak bangun tidur tadi pagi, kakinya sudah tidak terlalu parah kok. Dia nyaris bisa berjalan seperti biasa.
Ketika tiba di kelasnya, teman-temannya sedang mengerumuni papan tulis. Andhita bingung. ”Ada apa sih?” tanyanya pada Anya, teman sebangkunya.
Anya tampak salah tingkah. Dia berkata, ”Liat aja sendiri Dhit... elo mesti ngeliat sendiri deh.”
Andhita semakin bingung. Dia menguak kerumunan temannya dan melihat papan tulis yang penuh tulisan itu.
”Andhita sudah dijodohkan dengan pemuda pilihan orang tuanya. Tidak ada yang boleh mengganggunya, karena sebentar lagi dia akan bertunangan,” gumam Andhita membaca tulisan di papan tulis.
”Dhita, emangnya benar elo udah dijodohin?” kata salah seorang temannya.
Andhita tidak menjawab dan langsung menghapus tulisan di papan tulis. Apa-apaan sih? Siapa yang melakukan semua ini? Gerutunya.
”Emangnya elo udah ditunangin Dhit? Jangan-jangan lulus sekolah lo bakalan langsung dikawinin lagi.” timpal yang lainnya, membuat teman-teman sekelasnya tertawa.
Andhita cemberut gusar.
”Siapa sih yang nulis ini?!” serunya.
“Nggak tahu. Lala yang dating paling pagi juga bilang, waktu dia nyampe, tulisan ini udah ada. Oh ya, nggak cuma di kelas kita doang. Tulisan ini juga ditempel di papan pengumuman!” ujar Anya sambil mesem-mesem.
”Apa??!!”
***
Andhita merobek selembar kertas yang ditempel di papan pengumuman. Boro-boro modal pake komputer, tulisannya tulisan tangan! Ditulis besar-besar dengan spidol. Semua orang memerhatikan Andhita. Bahkan yang nggak kenal sekalipun. Mereka menunjuk-nunjuk Andhita. Mungkin mereka pada bilang, ”Itu tuh yang namanya Andhita. Nggak nyangka ya, cakep-cakep ternyata mau aja dijodohin. Nggak laku-laku kali!” tentu saja itu cuma pikian Andhita sendiri, tapi cukup membuatnya frustasi. Dia langsung mencari Putri di kelasnya.
”Put!”
Putri menoleh dan memandang Andhita dengan salah tingkah. Andhita langsung tahu, sahabatnya itu pasti juga sudah mambaca pengumuman itu. Berarti semua orang sudah tahu dong?
”Elo udah baca tulisan yang dipasang di papan pengumuman?” tanya Andhita.
”Di papan pengumuman? Tapi malah tadi gue baca di depan kamar mandi cewek.” kata Putri.
Apa? Di kamar mandi cewek juga? Orang itu benar-benar sakit!
“Emangnya benar elo dijodohin, Dhit?” Tanya Putri berbisik.
“Duh… sekarang masalahnya bukan itu. Sekarang itu, gue mau tahu siapa yang ngelakuin semua ini ke gue? Siapa yang nulis dan nempelin semua ini di mana-mana?”
Putri melirik Andhita yang duduk di bangkunya.
”Udah, duduk dulu deh. Yang di kamar mandi cewek udah gue copot kok tadi.”
Andhita menghela napas panjang. Tapi kemudian...”Gimana dong?” keluhnya. Malu-maluin aja. Sekarang dia yang cuma cewek biasa-biasa aja di sekolah jadi sorotan dan bahan gosip.
”Emangnya soal dijodohin itu benar Dhit?” Tanya Putri.
Andhita mengangguk pelan.
”Dijodohin sih sebenarnya nggak salah, tapi kalau sampai disebarin ke orang-orang, ini benar-benar keterlaluan!” ujar Putri.
Tiba-tiba tangis Andhita pecah. Dia menelungkupkan wajahnya di meja. ”Gue malu banget.” katanya. Dia lalu teringat sesuatu, Rendy sudah tahu tentang masalah perjodohan ini. Apa cowok itu yang melakukan ini semua?
Andhita mengangkat kepala dan tiba-tiba berseru, ”Rendy!!”
”Rendy??” tanya Putri bingung.
”Pasti dia yang melakukan ini semua! Soalnya cuma dia yang tahu kalau gue dijodohin.”
”Dia tahu?” tanya Putri lagi. ”Kok gue nggak tahu, tapi dia bisa tahu? Kok elo nggak ngasih tahu gue? Elo udah nggak percaya lagi sama gue Dhit?”
”Sekarang jangan mikirin itu dulu deh. Gimana dong? Gue harus gimana? Gue mestinya marah kan?” Tanya Andhita.
Putri mengangguk-angguk. “Kalo memang benar dia orangnya, elo berhak marah kok. Tapi sebaiknya kita cari aja dulu orangnya.”
Kriing!! Bel masuk berbunyi.
“Nggak usah. Kalau gue nyari dia sekarang, selain udah nggak keburu karena udah bel, gue juga malu diliatin orang. Mending nanti aja, pulang sekolah pas latihan.”
“Oke deh. Biar bagaimana juga, gue pasti dukung elo. Kalau perlu kita oecat dia.” Tegas Putri.
“Thanks.” Kata Andhita pelan.
***
Pulang sekolah, Andhita buru-buru pergi ke aula sekolah sebelum yang lainnya datang. Dia benar-benar kesal. Hari ini tidak secuil pun pelajaran yang masuk ke kepalanya. Bahkan dia yakin pasti dapat nilai merah untuk ulangan sejarah tadi. Semua yang dipelajarinya kemarin lenyap entah ke mana gara-gara terlalu kesal memikirkan masalah ini.
Ini pasti ulah Rendy. Cuma cowok itu yang tahu masalah perjodohan ini. Apa sih maksudnya? Kalau ini maksudnya untuk menarik perhatian, jelas bukan perhatian yang dia dapatkan, melainkan kebencian Andhita yang meluap-luap.
Tak lama kemudian, ketiga temannya datang disusul Rendy di belakang mereka. Andhita langsung mendekati cowok itu.
”Heh, kenapa sih elo melakukan semua ini? Kenapa elo ngebocorin rahasia gue ke seluruh sekolah?” tuntut Andhita marah.
Rendy menatapnya dengan pendangan bingung. “Rahasia apa? Gue melakukan apa?” tanyanya.
”Jangan berlagak bego deh! Tau gak lo, gue nggak suka diperlakukan begitu, tau! Gue emang senang bercanda, tapi yang wajar-wajar aja dong. Jangan keterlaluan!” ujar Andhita berapi-api.
“Andhita, lo apa-apaan sih?” Rendy menatap yang lain untuk meminta bantuan, tapi yang lain hanya menunduk.
Akhirnya Putri berkata, ”Emang lo belum tau kalau satu sekolah sekarang udah pada tahu Andhita bakalan dijodohin bokap nyokabnya?”
Rendy terkejut. ”Oh ya? Gue kira cuma gue yang tahu...”
Keyra menyela, “Di papan tulisbeberapa kelas, di papan pengumuman, di depan kamar mandi cewek dan cowok, di pohon besar dekat lapangan upacara. Nah, kata Andhita cuma elo satu-satunya yang tahu. Bahkan kita bertiga aja nggak tahu. Kalau begitu...”
”Jadi kalian berempat nuduh gue nih?” Rendy tampak marah.
”Habis siapa lagi?!” bentak Andhita.
Di pohon besar dekat lapangan upacara? Oh my God! Tempat itu kan selalu dilewati para guru kalau mau menuju ke ruang guru! Malu-maluin nih! Jangan-jangan masih ada tempat lain yang belum diketahui Andhita. Memikirkan itu membuat Andhita ingin berteriak dan mencakar Rendy.
”Gue... gue nggak pernah nempelin pengumuman apa pun. Lagian juga, emangnya gue tipe orang seperti itu? Itu cuma kerjaan orang gila! Emangnya elo pikir orang gila yang nggak punya kerjaan?” kata Rendy.
Putri mulai melunak mendengar bantahan cowok itu. “Bener nih, bukan elo yang nulis?”
“Bukan!” tegas Rendy. “Begini aja, giar gue yang nyari tahu siapa pelakunya buat ngebuktiin kalau gue benar-benar nggak bersalah dalam hal ini!”
Putri menatap Andhita, tapi Andhita diam saja. Jelas cewek itu masih merasa Rendy-lah pelakunya.
”Ya udah, persoalan ini kita selesaikan lagi nanti. Sekarang labih baik kita latihan dulu!”
Andhita melotot. Tadi katanya Putri mau mecat...
Putri tahu perasaan Andhita. Dia berkata, ”Urusan pribadi jangan dicampuradukkan dengan vocal grup kita. Jangan kuatir, nanti akan gue selidiki lagi.”
Andhita merengut. Dia masih belum puas. Tapi apa boleh buat. Kata-kata Putri tadi benar, tapi satu yang pasti, dia benci luar biasa pada Rendy. Dalam hati dia berjanji, selamanya takkan berbicara lagi dengan cowok itu!
Tapi rupanya perasaannya saat itu memengaruhi kualitas menyanyinya. Atau karena dia tidak latihan satu kali, entahlah. Berkali-kali Andhita fals dan tidak mampu menyanyikan suatu nada dengan tepat.
”Tolong suara duanya ya! Itu do, bukannya si. Beda setengah nada sama saja dengan fals, tau? Fals itu artinya sumbang, in case elo nggak tahu artinya.” Sela Rendy menyebalkan di tengah-tengah latihan dengan tatapan tertuju pada Andhita.
Andhita mengatupkan bibirnya. Dia ingin membalas ucapan Rendy, tapi teringat dengan janjinya bahwa dia tidak akan pernah lagi mengajak cowok itu bicara. Semuanya hanya memandang mereka berdua dengan bingung. Suasana tegang mengambang di udara.
Ketika selesai latihan, Rendy mendekati Andhita. ”Benar Dhit. Bukan gue yang nyebarin berita itu.” Katanya sungguh-sungguh.
Andhita diam saja. Mana bisa dia percaya jika satu-satunya tersangka adalah Rendy. Lagipula, terbongkarnya rahasia perjodohan ini hanya selang beberapa jam setelah Rendy ke rumahnya. Itu mempersempit tersangka kan? Anyway, tersangkanya memang hanya ada satu.
”Masalah ini juga jangan sampai ngeganggu konsentrasi nyanyi lo, Dhit. Elo mikir deh pake akal sehat, buat apa gue melakukan semua ini? Apa untungnya gue ngasih tahu semua orang kalau elo udah dijodohin? Lagi pula tadi pagi kan gue datangnya terlambat. Jadi, lo jelas kan, gue nggak punya motif dan kesempatan.” tutur Rendy.
Andhita tetap mengatupkan mulutnya walau dia sudah gatal ingin mengatakan bahwa dia nggak percaya sama sekali dengan ucapanya. Apalagi sejak awal dia sama sekali nggak mengerti kenaa dia selalu bentrok dengan cowok ini. Dan bila melihat keseluruhan kejadiannya, itu bukan berasal dari dirinya, melainkan karena sifat buruk cowok ini.
Rendy menepuk bahu Andhita dan tersenyum sinis. ”Udah deh. Yang iseng melakukannya mungkin orang gila, dan sayangnya orang gila itu bukan gue. Elo bukan tipe gue, jadi gue nggak punya motif buat ngisengin elo.” katanya nyantai.
Andhita melotot, tapi cowok itu segera berlalu dari hadapannya.
***
Dua hari itu Andhita terpaksa bersembunyi di kelasnya karena dia mendadak menjadi selebriti sekolah. Untungnya ketiga temannya baik-baik. Selama istirahat pertama dan kedua mereka bergantian membawakan makanan untuk Andhita. Biar Andhita nggak kelaparan, begitu kata mereka. Dan Andhita jadi senang, soalnya saat nggak ada masalah, dia pun belum tentu bisa makan tiap kali istirahat. Sekarang dia nggak perlu lagi takut kelaparan.
”Sebenarnya gimana sih asal muasalnya orangtua lo ngejodohin lo?” tanya Keyra.
”Ceritanya panjang. Sepertinya masalah utang budi gitu deh. Tapi mereka nggak maksa kok, cuma… ya... maksa juga sih.” ucap Andhita, teringat pada papanya yang memang sangat mengharapkan penanaman modal saham di perusahaannya itu. Toh orangtuanya juga nggak mengharapkan dia menikah dalam waktu dekat. Paling nggak enam tahun lagi, dan enam tahun waktu yang cukup lama. Apa saja bisa terjadi selama enam tahun kan?
“Bonyok lo kok tega banget sih? Jujur aja ya, kalau hal itu terjadi sama gue, gue pasti bakalan langsung nolak abis. Peduli amat dengan hutang budi atau apalah namanya. Terus cowok yang dijodohin ke elo itu...cakep nggak?” tanya Keyra.
”Boro-boro bisa tahu cakep apa nggak. Gue aja belom pernah liat kayak gimana orangnya. Dan gue baru dipertemukan sama dia ntar malam!” kata Andhita sambil mengunyah kacang dengan asik. Putri sudah melarang mereka minum es, gorengan, kacang, dan makanan berminyak sebelum malam kesenian, tapi tentu saja yang lain tidak berminta mematuhi perintah nggak jelas itu. Apalagi tentang anjuran air jeruk nipis dua sendok makan setiap pagi. Apa nggak erosi tuh tenggorokan? Nggak sekalian minum cuka!
“Jadi, elo belum pernah ketemu cowok itu?” Tanya Keyra kaget.
Andhita mengangguk. “Bokap-nyokab gue aja belum pernah ngeliat gimana orangnya.”
“Apa?!! Kalau orangnya jelek abis, gimana? Gimana kalau dia gendut? Atau idiot, atau norak bin kampungan?” ujar Keyra dengan wajah serius.
”Yang gue tahu sih orangtuanya kaya banget. Dan soal idiot itu, gue udah pernah tanya, dan kata bokap gue itu nggak mungkin. Dia seumuran gue dan kelasnya setingkat juga sama kita.”
Keyra cengengesan. ”Kaya? He he he… boleh juga tuh. Gue juga mau dong dijodohin sama anak orang kaya.”
Andhita menimpuk wajah Keyra dnegan bungkus kacang. “Dasar matre lo!”
***
Jadi malam itu, dengan gaun hitam yang sudah di-laundry kilat oleh mama dan rambut yang ditata rapi di salon serta wajah yang di-makeup tipis tapi manis, Andhita bersama kedua orangtuanya pergi ke pesta makan malam adik calon tunangannya, Bebby.
Andhita sudah menyiapkan hadiah ulang tahun berupa hiasan meja. Isinya cairan berwarna merah dan biru. Bila hiasan itu dibalikkan, cairannya akan turun. Andhita sendiri suka banget, jadi dia berharap lupa memberikan kado itu dan terbawa pulang lagi, jdi benda itu bisa dimilikinya. Hihihi… soalnya kalau dia yang minta, mamanya belum tentu mau membelikan.
”Kira-kira calon tunanganmu itu seperti apa ya? Mama jadi nggak sabar ingin segera ketemu calon mantu.” kata Mamanya.
”Eit, bukan calon mantu, catet itu! Andhita kan janji buat ketemu doang, bukan janji buat kawin sama dia.” ujar Andhita cepat.
“Papa sudah beberapa kali bertemu dengan Om Seno di kantornya, tapi belum pernah ketemu dengan anaknya. Sebenarnya Papa penasaran juga. Mana Papa nggak ingat sama sekali dengan nama anaknya. Dulu, kalau Papa lihat, waktu bayi dia manis juga. Saat itu Papa pikir gedenya pasti ganteng. Nggak tahu deh sekarang seperti apa.”
”Andhita waktu kecil gimana, Pa?” tanya Andhita penasaran.
”Uh, jelek banget! Kayak monyet. Tapi gedenya mendingan. Syukurlah!” timpal Mama seenak udel.
“Ehm… kalau begitu, anaknya Om Seno yang kecilnya cakep, gedenya jangan-jangan kayak gorilla.” Canda Andhita sambil memalingkan wajah menatap jalanan.
Sebenarnya dia gugup juga. Bayangkan, bertemu dengan keluarga orang yang akan dijodohkan dengannya. Pasti mereka akan memerhatikannya dan menilai-nilai dirinya. Hal itu sama sekali nggak enak.
Tak lama kemudian mereka tiba di kediaman keluarga Om Seno. Mereka diundang langsung ke rumah, menandakan keluarga Om Seno benar-benar ingin beramah-tamah secara dekat dengan keluarga Andhita.
”Ini yang namanya Andhita? Cantik sekali ya.” ujar seorang wanita seumur mama Andhita.
Andhita tersipu malu. Tadi di rumah ketika memandang cermin, dia merasa begitu juga sih. Cantik. Hehehe.
”Mana anak kamu? Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Dulu waktu bayi lucu sekali. Sekarang pasti ganteng.” ujar papa.
Tante Astrid, suami Om Seno tersenyum. ”dia sudah bilang akan pulang terlambat. Katanya mau beli senar gitar di Music Store. Biasa, anak muda. Lagi senang-senangnya main gitar.”
”Wah, bagus itu. Daripada nge-drugs atau melakukan hal-hal negative, lebih baik disalurkan ke musik atau olahraga. Anakmu itu pintar main gitar? Wah seperti saya dong.” Kata Papa sok tahu. Setahu Andhita sih di rumah memang ada gitar, tapi sudah ditaruh di gudang. Dan terakhir kali papa menyentuh gitar…Andhita nggak tahu deh. Yang pasti dia baru sekali melihat papanya main gitar, ketika sedang gandrung lagunya Ektreme – More Than Words. Papa langsung beli gitar dan coba-coba mengikuti chord yang ada di majalah, tapi nggak bisa-bisa. Kemudian gitar itu dibanting dan ujungnya retak, lalu pensiun di gudang. Apa itu yang disebut pintar main gitar?
“Wah, hebat. Seno sih tidak bisa main gitar, tapi dia menyuruh Rendy les musik sebanyak-banyaknya. Dan Rendy juga senang olahraga.” Sahut Tante Astrid sedikit bangga.
Siapa? Rendy? Kenapa harus bernama Rendy? Nama yang saat ini nggak mau dia ingat sama sekali. Ternyata calon tunangannya itu punya nama yang sama dengan cowok yang paling dia benci saat ini. Andhita benar-benar nggak suka situasi kayak gini.
Sesudahnya Tante Astrid mempersilahkan keluarga Andhita masuk ke ruang tamu. Ternyata di situ Om Seno sudah menunggu mereka.
”Hai, kalian sudah kutunggu dari tadi. Ayo duduk. Mau minum apa?” tanyanya.
”Apa saja.” kata Mama Andhita.
”Ini yang namanya Andhita? Wah, cantik sekali. Dulu waktu bayi wajah kamu nggak seperti ini lho. Tembem! Papa kamu malah bilang kamu kayak badut, soalnya kamu gendut! Hehehe…” kata Om Seno.
Andhita hanya bisa meringis mendengar kata-kata Om Seno. Bicaranya terus terang sekali. Bapaknya begini, apa sifat anaknya juga seperti ini ya? Mudah-mudahan si Rendy yang satu ini nggak terlalu cerewet seperti Rendy yang dia kenal. Soalnya cowok emang nggak pantes bawel kan? Kayak cewek aja, pikir Andhita.
Mereka disuguhi orange tea dan donat oleh Tante Astrid. Tak lama kemudian Bebby bergabung dengan mereka. Dia masih kelas 1 SMU, dan sangat cantik. Tubuhnya malah lebih tinggi beberapa senti dari Andhita. Wajahnya tampak tidak asing bagi Andhita. Entah dia pernah liat di mana.
“Beb, ini hadiah buat kamu. Kamu ulang tahun pas hari ini ya?” tanya Andhita.
”Nggak, kemarin tepatnya. Sebenarnya mau di rayain, tapi kata Mama tahun depan aja pas tujuh belas tahun.” katanya.
Rambut Bebby pendek sebahu dan wajahnya besih tanpa makeup. Dia memakai tank top hitam berhiaskan kilau permata di dadanya. Untuk bawahannya dia mengenakan rok hitam lapis tule yang sedang in saat ini. Di telinga kanannya terpasang anting-anting panjang berbentuk rantai sepanjang sepuluh senti dan tindikannya yang ada tiga buah dipasangi anting berlian sehingga penampilannya tampak funky. Rambutnya dicat warna kemerahan sehingga Andhita tidak tahan untuk bertanya.
“Kamu sekolah di mana?”
“Di SMU Pramita Kelapa Gading.”
”SMU Pramita? Berarti kita satu sekolah dong?” ujar Andhita kaget.
”Iya, Mama sama Papa juga udah ngasih tahu kalau kakak sekolah di sana.” ujar Bebby. ”Tapi aku kan baru sebulan sekolah di situ, pindahan dari surabaya, jadi mungkin kakak belum pernah melihat aku.”
Andhita lantas mendapat fiasat buruk. Wajah Bebby tampak tak asing. Dia mirip… “Rendy sekolah di mana?” Tanya Andhita lagi.
“Di SMU Pramita juga. Satu-satunya sekolah bagus dekat dengan Sunter ya di sana. Dia kelas dua, sama dengan kakak. Malah jangan-jangan kakak pernah ngeliat dia.”
”Apa? Kelas dua? Dua apa?” seru Andhita.
”Dua IPA, tapi nggak tahu IPA berapa.” kata Bebby.
Oh my God! Jangan-jangan...
“Aku pulang!” seru seseorang yang masuk ke dalam ruangan itu. Andhita menoleh ke ambang pintu dan melihat… Rendy berdiri di situ! Andhita memandang papa dan mamanya yang tampak terkejut sama seperti dirinya. Berarti...
Suara Om Seno memecah kesunyian. “Ini Rendynya sudah pulang! Ayo beri salam pada Tante Anne dan Om Heru, Rendy!”
”Ini...Ini kan..yang waktu itu...” tanya Papa mengenali.
Andhita menjadi lemas seketika. Baginya ini benar-benar kabar buruk. Pantas saja dia seperti pernah melihat Bebby. Rupanya wajahnya mirip dengan Rendy. Ini benar-benar buruk!
Rendy tampak terkejut melihat kehadiran Andhita di situ, tapi tidak terlalu terkejut seperti keluarga Andhita melihatnya. Cowok itu tersenyum ragu pada Andhita dan kedua orangtua gadis itu, lalu permisi ke dalam.
”Aku masuk dulu ya Pa, Ma. Aku mau ganti baju dulu.” katanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Andhita. Andhita menduga Rendy sudah tahu, dialah yang akan dijodohkan dnegannya. Bebby juga tadi bilang, dia udah tahu Andhita sekolah di SMU Pramita. Kemungkinan besar Rendy sudah mencari tahu tentang dirinya. Kalau begitu curang dong? Nggak fair! Pantas waktu pertama kali ketemu dulu, Rendy menelitinya seperti orang mau beli kuda!
”Jangan lama-lama ya, Ren. Makan malam segera dimulai.” Kata Tante Astrid, mama Rendy.
”Oke ma!”
Sepeninggal Rendy, mama Andhita bertanya dengan bingung, ”Kalau begitu...sebenarnya Rendy sudah mengenal Andhita sebelumnya?”
“Ya betul. Katanya Rendy sudah kenal dengan Andhita kok di sekolah. Dasar bandel. Walau pertama-tamanya saya sengaja nggak ngasih tahu, dia memaksa juga. Dia ingin tahu nama lengkap andhita siapa, kelas berapa. Terpaksa deh Seno memberitahu. Tapi si Rendy juga nggak komentar apa-apa tuh. Berarti dia setuju dijodohkan.” kata Tante Astrid.
Andhita memegang kepalanya. Mati gue!
”Jadi...” sambil menatap putrinya, Mama andhita mulai bingung, ”Kamu juga udah tahu kalau cowok yang dijodohkan dengan kamu itu Rendy?”
”Andhita nggak tahu Ma.” jawab Andhita lemas.
”Lalu...kenapa dia bisa ke rumah kita?”tanya Mama lagi.
”Aduh, Andhita juga nggak tau Ma. Di sekolah aja Andhita sama dia...”
Andhita hampir saja keceplosan bahwa hubungannya dengan Rendy di sekolah tidak bisa dibilang baik. ”Andhita sama dia nggak sekelas Ma.”
”Jadi Rendy pernah ke rumah kak Heru?” tanya Tante Astrid kaget.
”Lho, ngapain dia kesana? dasar anak nggak tahu aturan.” kata Om Seno senyum-senyum bangga, sama sekali beda dengan kata-katanya. Pasti dia bangga karena anaknya dinilai berani, pikir Andhita sebal.
”Dia datang untuk melihat kaki Andhita yang terkilir. Saya pikir dia teman baiknya Andhita di sekolah.” kata Mama Andhita.
”Wah, ternyata anak kita tanpa dijodohkan pun sudah akrab ya?” ujar Tante Astrid senang.
”Ngapain kak Rendy pergi ke rumah Andhita? Apalagi dengan menutupi identitasnya. Bukannya itu nggak bagus, Pa?” sela Bebby.
”Aku bukan menutupi identitas, aku cuma nggak bilang. Itu dua hal yang berbeda, kan?” ujar Rendy yang tiba-tiba saja sudah bergabung dengan mereka. Dia sudah mengganti bajunya dengan kasu hitam lengan panjang yang keren. Pasti merek mahal, soalnya pas banget di tubuhnya yang tinggi dan atletis, pikir Andhita. Duh... Andhita, masih sempat-sempatnya kamu...
”Rendy, kamu pergi ke rumah Andhita kok nggak bilang-bilang sama Papa dan Mama? Bukannya kamu sudah janji nggak akan nemuiin Andhita sebelum dipertemukan?” tegur Tante Astrid.
Rendy hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang diberi gel hingga rambutnya yang pendek berdiri seperti landak.
”Aku ke sana bukannya dalam rangka perjodohan Ma. Aku dan Andhita terlibat dalam suatu acara di malam kesenian. Aku yang mengiringi Andhita menyanyi.” katanya.
Andhita melotot. Cerita Rendy seolah-olah mereka sedang berlatih untuk konser tunggal, di mana dia yang menyanyi seriosa solo dan Rendy yang menjadi pianisnya. Padahal mereka cuma bergabung di vocal grup, menyumbangkan satu lagu!
“Oh ya? Menarik sekali! Kalau begitu kalian itu sudah cocok banget, yang satu suka main musik, yang satunya lagi suka nyanyi. Bukan begitu Pa?” tanya Tante Astrid.
“Tapi…” mama Andhita terlihat bingung. “Saya waktu itu mungkin memberikan kesan yang tidak baik pada Rendy karena telah mengusirnya secara halus.”
“Ah, nggak apa-apa kok Tante. Waktu itu kan Tante bilang supaya aku tidak mendekati Andhita karena Andhita udah dijodohkan dengan seseorang. Berarti Tante sudah mendukung aku dong?” kata Rendy menyebalkan.
Oh God! Keluh Andhita. Lengkap sudah kekesalannya pada cowok sok tahu dan sok cakep bin bawel ini.
“Berarti benar elo yang nyebarin berita di sekolah kalau gue udah dijodohin?” Tanya Andhita setengah berbisik pada cowok di sampingnya itu.
“Nggak. Kan gue udah bilang sama lo, bukan gue yang nyebarin gosip murahan kayak gitu!” elak Rendy.
“Gosip udah dijodohin? Itu nggak baik buat Andhita dong. Dia kan bisa malu.” timpal Tante Astrid.
”Iya Ma. Aku juga ngeliat selebaran itu ditempel di kantin. Cuma aku nggak tahu kalau Andhita yang dimaksud ya Kak Andhita.” kata Bebby.
Oh-oh! Di kantin juga? Astaga!
”Siapa yang membuat gosip itu Ren?” Tanya Om Seno serius.
“Bukan aku Pa, sumpah! Nanti akan Rendy selidiki deh.”
”Kamu harus nyelidikin ini baik-baik. Pokoknya, kalau kamu sampai mempermalukan Andhita, berarti kamu juga mempermalukan Papa di depan Om Heru.” kata om Seno.
”Oke Pa.” jawab Rendy.
Mereka lalu mulai makan malam. Meskipun yang tersaji adalah makanan restoran terkemuka dan rasanya sangat enak, Andhita hampir tak bisa menelannya. Pikirannya terus dipenuhi oleh kenyataan bahwa Rendy-lah ternyata yang dijodohkan dengannya. Tapi dia sudah terlanjur menilai negatif cowok itu, bagaimana dong? Tadinya dia berpikir, setidaknya dia bisa menjalin hubungan persahabatan lebih dulu dengan calon tunangannya itu. Tapi kini, setelah tahu bahwa Rendy adalah calon tunangannya, dia pun menjadi muak. Lagi pula dia sudah berjanji nggak akan pernah mengajak cowok itu berbicara lagi.
”Rendy, jadi rupanya kamu sudah menyelidiki keberadaan Andhita di sekolah tanpa Andhita sadari?” tanya Papa Andhita dengan raut muka ramah. Lain banget dengan waktu Rendy datang ke rumah beberapa hari yang lalu. Dengan raut muka sok wibawa dan segala deheman yang menyeramkan itu, tingkah laku Papa bagaikan Sherlock holmes menyelidiki kasus penting.
“Iya Om. Aku jadi ngerasa bersalah. Tapi sebenarnya pertemuan aku sama Andhita memang nggak disengaja Om. Andhita yang menghubungi aku untuk mengiringi vocal grupnya.”
“Benar-benar jodoh ya?” timpal mama.
Andhita memutar bola matanya. Duh, mama please dong! Jangan memihak Rendy terus! Anakmu nih… anakmu bagaimana?
“Kok kamu dari tadi Tante perhatikan diam saja Andhita? Apa kamu nggak senang mendapati kenyataan kamu sudah mengenal Rendy di sekolah?” Tanya Tante Astrid.
Andhita tersentak. Daging yang ditelannya menyangkut ke kerongkongan hingga dia tersedak. Dengan wajah membiru dia menunjuk-nunjuk ke kerongkongannya. Rendy yang duduk di sebelahnya langsung menariknya berdiri. Cowok itu melingkarkan tanganny di pinggang Andhita dan sekuat tenaga menyentakkan tubuh Andhita. Sang daging terkutuk itu keluar dan jatuh ke lantai. Memalukan! Lengkap sudah gue dipermalukan malam ini, desah Andhita dalam hati tak berdaya.
Semua yang ada di ruangan itu tampak panik.
”Ya ampun... untung ada Rendy...” desah Mama sambil mengusap-usap punggung Andhita sementara putrinya itu minum segelas air yang diberikan Rendy.
”Ya, untuk itulah seorang pria diciptakan. Untuk menjaga wanita. Betul kan Pa?” ujar Tante Astrid.
Andhita berusaha menahan sabar dengan menyesap air putihnya pelan-pelan. Rasanya malu banget. Apalagi daging yang dimuntahkannya meninggalkan noda di bajunya. Kenapa gue harus mengalami hal kayak gini sih?
”Makannya pelan-pelan aja Dhit.” kata Papa bikin Andhita tambah malu aja.
”Andhita... lanjutkan lagi makannya ya. Nanti setelah makan, kami mau menunjukkan foto-foto keluarga kami pada kalian.” kata Om Seno.
Mereka pun melanjutkan makan lagi. Kali ini tanpa terlalu banyak bicara. Mungkin semuanya jadi takut tersedak kayak Andhita.
Sehabis makan, sambil menikmati secangkir wedang jahe dan puding buah, tante Astrid menggelar foto-foto keluarga. Andhita duduk di karpet tanpa menaruh minat sedikit pun pada foto-foto itu.
”Lihat, ini Rendy waktu masih bayi. Karena keringetan terus, maka waktu difoto dia lagi telanjang.” kata Om Seno.
”Oh lucunya.” komentar Mama.
Andhita melirik sedikit dan tanpa sadar tersenyum. Rasain, memangnya enak dipermalukan?
Tiba-tiba terdengar denting gitar. Andhita melirik Rendy yang duduk di sebelahnya. Cowok itu sedang menyetem senar. Ah, biasa… pasti lagi pamer. Mau nunjukin kalau dia itu bisa segala macam jenis musik. Tapi melihat keahlian dan kecepatannya mengganti senar, mau tak mau Andhita kagum juga. Padahal sebelum melihat ini Andhita bahkan tidak ahu kalau ternyata senar gitar itu bisa diganti. Soalnya senar gitar Papa pernah putus dan Papa pasrah main gitar dengan lima senar. Tentu saja sebelum menyerah dan membanting gitarnya.
“Kenapa elo nggak pernah bilang kalau elo yang dijodohin sama gue?” bisik Andhita sedikit marah. Selagi kedua orangtua mereka sedang sibuk melihat foto, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk melabrak cowok berengsek di sebelahnya. Bebby sudah permisi ke kamarnya karena ada janji chatting di internet dengan teman-temannya.
”Elo kan nggak pernah nanya.” sahut Rendy santai.
”Elo ini...” geram Andhita. ”Kalau begitu, kenapa elo nyelidikin gue? Apa elo senang dengan perjodohan ini?”
Tanpa melirik, Rendy balas berbisik. ”Jangan GR! Kan gue udah pernah bilang sama lo, elo itu bukan tipe gue.”
Andhita makin kesal. ”Tapi...” suaranya meninggi. Namun ketika dilihatnya keempat orang dewasa di ruangan itu sedang memandangnya, dia jadi salah tingkah.
Tiba-tiba Rendy berdiri. ”Pa, Ma kami permisi dulu. Andhita mau melihat kolam renang dan kebun belakang.” katanya sambil menarik tangan Andhita.
”Oh ya, baguslah. Kalian memang buuh waktu untuk saling mengenal.” Kata Tante Astrid. Sekarang Andhita tahu mengapa Rendy begitu bawel. Mama dan Papanya juga sama-sama bawel sih.
Andhita sama sekali tidak menolak saat Rendy menarik tangannya menuju belakang rumah, tapi ketika orangtua mereka tidak melihat mereka lagi, Andhita langsung menarik tangannya.
“Gue bisa jalan sendiri.” Katanya ketus.
Rendy tidak menjawab. Dia mengajak Andhita ke kolam renang besar di belakang rumah. Diam-diam Andhita kagum juga. Rumah ini benar-benar mewah. Pekerjaan Papanya Rendy apa sih sampai bisa sekaya ini? Pantas saja Papa begitu ingin mendapatkan partner perusahaan seperti Om Seno. Mungkin dia ingin perusahaannya sukses seperti perusahaan Om Seno.
”Jangan GR. Gue ngajak elo ke sini sama sekali bukan karena mau lebih kenal sama lo. Karena yang gue liat, elo itu cewek yang sama sekali nggak bisa menutupi perasaan. Gue rasa gue udah cukup mengenal lo.” kata Rendy ketika mereka udah tiba di bangku santai pinggir kolam.
Dia mempersilahkan Andhita duduk di situ dengan gerakan tangannya. Andhita terpaksa menurut.
”Gue nggak GR!” Andhita merenggut.
”Tuh kan...”
Andhita melotot. ”Kenapa elo mau menyelidiki gue tanpa gue tahu siapa elo sebenarnya di sekolah?” tanyanya.
”Udah gue bilang, gue cuma mau tahu aja.”
“Dan setelah lo tahu? Lo kecewa?”
Rendy tertawa. “Bukan soal kecewa atau nggak. Gue cuma pengen tahu aja. Jangan banyak menduga yang nggak-nggak dong. Elo kan belum kenal gue dengan baik.”
“Kalau begitu, kenapa elo nggak marah dijodohin sama bonyok lo? Gue sendiri benar-benar nggak setuju sama perjodohan ini.” kata Andhita.
Rendy mendekatkan tubuhnya ke tubuh Andhita sehingga Andhita bisa mencium aroma parfum cowok itu. Andhita langsung mundur sedikit, perasaan deg-degan tiba-tiba menerpanya. Hei ingat! Jagalah hati! Jangan menangkap pesona yang ditebarkan cowok ini. Ayo pasang berikade. Seperti atmosfer yang menyelubungi bumi, benak Andhita memperingatkan.
“Sebenarnya gue ngajak elo ke sini untuk merundingkan sesuatu.” Bisik Rendy.
“Me…rundingkan apa?” kata Andhita dengan suara sedikit bergetar.
“Begini… sebenarnya gue juga nggak setuju dengan perjodohan ini. Tapi elo liat sendiri kan seperti apa kedua orangtua gue?”
Andhita mengangguk-angguk bloon sambil memerhatikan wajah Rendy yang cukup dekat dengannya. Ada apa sih dengan dirinya? Kok tiba-tiba jadi jengah begini?
”Mereka sangat antusias dengan perjodohan ini, entah kenapa. Dan gue nggak bisa bilang gue nggak mau gitu aja. Makanya gue minta data-data lo dan nyelidikin elo di sekolah. Sebenarnya waktu kamis kemarin gue mau bilang, tapi elo kan udah marah duluan soal selebaran itu, jadi nggak jadi deh.”
”Jadi...maksud lo... elo lagi nyusun rencana?”
”Yup!” Rendy mengangguk mantap. ”Gue rasa langsung menolak juga nggak ada gunanya. Jadi lebih baik kita pura-pura nerima aja.”
“Pura-pura nerima gimana?”
”Iya. Elo tahu kan, gimana jadinya kalau gue langsung nolak dan kita terlihat nggak saling menyukai?”
”Apa?”
”Nyokab gue tukang maksa. Dia paling ahli memaksakan pandapatnya dengan cara pelan-pelan. Jadi percuma aja nolak. Lebih baik kita terlihat saling suka.”
”Saling suka?”
”Ya. Kalau nggak, dia pasti bakalan nyuruh kita lebih sering ketemu. Elo bakalan sering diundang ke rumah gue satu atau dua kali seminggu. Elo mau?”
Satu atau dua kali seminggu? Apa-apaan nih? Andhita mulai cemas.
”Nggak!”
”Makanya, nurut aja sama apa yang gue bilang. Gue liat elo cewek yang cukup punya akal sehat. Untung deh. Coba kalau cewek yang lemot, bolot, atau telmi, rada susah juga.” Kata Rendy meyakinkan.
Andhita jadi mengangguk-angguk seperti orang bego. Kurang ajar juga nih. Kelihatannya gue lagi dibego-begoin sama dia.
”Jadi bagaimana?” tanya Andhita.
”Untuk sementara, kita berdua berlagak nerima aja. Urusan selanjutnya kita lihat keadaan dulu, jelas nggak?”
”Terus, masalah pengumuman di sekolah gimana?”
”Sedang gue selidiki. Lagian juga sekarang orang-orang belum pada tahu kalau gue yang dijodohin sama lo kan?”
”Iya, tapi kan...” Andhita mau bilang kalau ini berarti enak di Rendy, nggak enak di dia.
”Ya udah, sabar aja. Orang sabar disayang Tuhan, oke?” cowok itu menepuk-nepuk pundak Andhita.
Rendy kembali mengajak Andhita ke ruang tengah. Pembicaraan mereka selesai, tapi bukan berarti masalah ini sudah selesai. Andhita mendapatkan firasat buruk bahwa ini semua tidak akan berjalan dengan mulus. Rencana Rendy, juga yang lainnya, sama sekali tidak akan mudah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar