Sabtu, 05 Juni 2010

Lovable (part 2)

“Cowok brengsek!” teriak Andhita gak karuan. Ia masuk ke dalam kamar Putri sambil mencak-mencak. Wajahnya yang cantik berkeringat dan rambutnya yang panjang jadi sedikit lepek. Napasnya memburu dan mukanya tampak kesal. Dan di kamar itu ketiga temannya menatap Andhita memandangnya dengan tatapan tidak mengerti.
“Lo kenapa sih Dhit?” Tanya Keyra.
Sejak tadi Keyra, Putri, dan Tasha sudah nunggu Andhita di kamar Putri buat ngumpul bareng dalam rangka mempersiapkan acara buat malam kesenian sekaligus malam perpisahan untuk anak kelas 3 yang sudah lulus di sekolah. Andhita terlambat tiga puluh menit. Boro-boro minta maaf, cewek itu malah teriak-teriak kayak orang gila. Jangan-jangan dia Cuma mengalihkan situasi, supaya perhatian teman-temannya yang mau marah sama dia jadi teralihkan. Luar biasa, otak mafia juga, pikir Keyra curiga.
Andhita duduk di pinggir tempat tidur Putri dengan napas masih terengah-engah. Wajahnya tampak jengkel.
”Kenapa sih?” tanya Putri.
”Iah, ada apaan sih Dhit?” timpal Tasha.
”Soal pengiring vocal grup kita...orang-orang yang ada di dalam daftar ...malam kesenian...,” kata Andhita nggak jelas. Napasnya tak beraturan kayak habis lari marathon.
”Tenang, tenang! Jangan cepat-cepat ngomongnya. Kita jadi bingung nih. Pelan-pelan aja. Kenapa sama pengiring kita?” tanya Keyra.
Andhita mengangguk sambil menelan ludah. Tatapannya tertuju pada Putri. ”Put, gue udah ngehubungi beberapa nomor telepon yang lo kasih kemarin. Kelima orang yang lo bilang pinter maen piano itu. Alam gak bisa, jadwalnya padat. Surya juga, jadwalnya bentrok sama jadwal kita. Ivan gak mau, dia bilang dia gak bisa ngiringin orang. Kalau si Rizal, katanya dia udah dikontak sama anak kelas satu buat ngiringin mereka maen drama teater. Dan satu-satunya harapan gue cuma yang terakhir, Rendy. Gue udah berusaha sesopan mungkin, sememelas mungkin, karena gue tahu dia satu-satunya harapan kita. Tapi... kalian tahu gak apa yang dia bilang?” teriak Andhita dengan nada suara yang semakin tinggi.
Rambut Andhita yang lurus bergoyang-goyang mengikuti gerak tubuhnya ketika dia berbicara. Alisnya yang hitam bertaut tada dia sedang marah. Wajahnya memerah seperti tomat segar. Memang nggak sealami itu sih, soalnya Andhita-lah satu-satunya diantara mereka berempat yang paling suka dandan. Karena baginya penampilan memang nomor satu. Mata yang ahli bisa melihat kalau alis Andhita yang hitam dicabuti dan dibentuk seperti sabit, lalu ditambahkan warna cokelat samar dengan pensil alis. Dia memakai bedak dua warna, putih sebagai dasar dan merah untuk bagian pipi. Mau tahu bulu matanya? Setiap hari dijepit biar lentik dan diberi maskara bening. Ketiga temannya tahu itu dan tidak lagi merasa aneh. Lagipula itu memang menambah kecantikan wajah Andhita yang memang sudah cantik, cuma agak curang memang.
“What? Tanya Putri penasaran.
“Dia belum bilang mau apa nggak. Kata dia, dia harus liat dulu seperti apa vocal grup kita. Coba deh... rese kan?” seru Andhita, lalu membasahi bibirnya yang terasa kering. Karena buru-buru, tadi dia lupa memakai lipgloss. Walau sedang emosi, cewek ini masih sempat juga mencari-cari lipgloss di dalam tasnya dan memakainya sambil menunduk. Setelah selesai, ia mengibaskan rambut panjangnya yang terjatuh ke depan.
Tiba-tiba Tasha, gadis paling imut-imut diantara mereka berempat, tertawa terbahak-bahak. Yang lain melihatnya bingung.
“Kenapa malah ketawa Sha?” Tanya Keyra.
Tasha berhenti tertawa dan berkata, ”Rendy itu emang aneh. Lo belum pernah katemu kan sama dia?”
”Belum.” Andhita menggeleng.
”Lo kemana aja Dhit? Si Rendy itu anak baru di kelas gue. Anaknya emang sok cool gitu. Tapi dia emang jagi banget. Baru sebulan di kelas gue, dia udah bisa ngebuktiin kalau dia pinter maen basket, voli, sepakbola, pinter dalam pelajaran, musik, dan yang paling penting…” Tasha membelalakkan matanya yang terlihat sangat besar dan kontras dibandingkan dengan wajahnya yang mungil dan berambut pendek. “…orangnya ganteng banget!!” katanya dengan ekspresi sedang membicarakan bintang film. Padahal aslinya Tasha pemalu. Cuma di depan teman-temannya saja dia bisa terlihat ”normal”.
”Apa?!” teriak Andhita. Dia bangkit berdiri dan bertolak pinggang. “Jadi itu alasan lo ngajuin dia sebagai calon pengiring kita? Jadi lo belum nanya dia mau apa nggak? Lo tau gak sih, lo tuh udah bikin malu gue!” serunya.
Tasha tersenyum malu-malu. ”Sori deh, Dhit. Harusnya gue yang nanya langsung ke dia. Tapi masalahnya… jantung gue deg-degan tiap kali berdeketan sama dia. Makanya gue minta Putri sekalian nyuruh lo yang hubungi dia, siapa tahu aja dia mau jadi pengiring kita.”
Putri yang berwibawa menengahi, ”Udah deh. Kalau kelima orang yang kita ajukan itu semua gak goal, kita bisa nyari orang lain kok. Iya kan?” Putri memang selalu lebih bijak, meski memang kadang-kadang sok ngatur.
Andhita menoleh pada Putri. ”Duh. Lo gak ngerti sih Put. Masalahnya, besok dia mau ketemu sama kita berempat. Gue kan tadi udah bilang kalo dia mau ngeliat penampilan kita dulu...”
”Apa? Sombong banget tuh orang!” sembur Keyra marah. Diantara mereka berempat, Keyra memang paling cepat marah dan suka protes. Dia juga agak-agak tomboy, suka banget sama yang berbau olahraga dan tubuhnya altetis dan tinggi. Rambutnya dipotong pendek, membuat wajahnya terlihat manis.
“Iya, makanya gue juga sebel. Tau gak, tadi gue di telepon cuma ngomong beberapa kata, selebihnya dia yang ngomong terus!” gerutu Andhita.
Putri diam sejenak dan berpikir. “Ya udah deh. Siapa tahu Rendy ini memang calon pengiring kita nanti. Sekarang sebaiknya kita latihan supaya gak malu-maluin di depan dia.” Katanya memutuskan. Yang lain setuju dan mulai berlatih.
***
Andhita memarkir mobilnya di garasi. Ada mobil Papa. Ia memegangnya, panas. Berarti Papa baru pulang. Ia buru-buru masuk ke rumah.
“Ma! Papa udah pulang ya!?” teriaknya.
Mamanya mengerutkan kening. ”Jangan teriak-teriak gitu dong, Dhit! Kuping Mama sakit dengernya!”
Andhita meringis. Dia masuk ke dalam dan melihat Papanya di ruang tengah. Papanya tersenyum melihatnya.
”Halo, anak Papa tersayang... Baru pulang?” ujar Papanya dengan gaya ngomong seperti pada anak balita, cuma nggak cadel aja. Dia memang sangat memanjakan anak semata wayangnya itu.
“Hai Pa! hari ini bawa oleh-oleh apa?” tanya Adhita sambil duduk di samping papanya.
”Cuma bawa lauk ikan woku-woku kesukaan kamu.”
”Asyik!!” seru Andhita. Dia langsung pergi ke meja makan. Dilihatnya ikan tongkol besar yang diberi bumbu cabe hijau superpedas dengan daun kemangi yang wangi terhidang di piring besar. Rasanya... wuih! Enak banget! Asal kuat pedas aja.
”Andhita! Cuci tangan dulu!” tegur Mama.
Andhita cemberut dan bangkit berdiri menuju wastafel. Beberapa saat kemudian mereka bertiga sudah duduk di meja makan untuk makan malam.
”Bagaimana latihan vocal grupnya? Sudah ketemu lagu yang cocok?” Tanya Papa.
“Mmm… mmm…” gumam Andhita dengan mulut penuh. “Judul lagunya A Whole New World. Lagunya bagus banget, dan kebetulan emang bisa megah kalau cuma diiringi sama piano. Tapi kita ada masalah sama pengiringnya. Masih belum ketemu, padahal malam kesenian tinggal dua bulan lagi.”
“Oh ya, kenapa kalian gak pake iringan karaoke aja?” usul Papa.
”Udah kepikir sih, Pa. Tapi kita udah nyari-nyari, gak ada karaoke dengan lagu itu.”
”Kalau begitu pakai lagu karaoke yang ada aja.”
”Gak bisa, Pa. Si Putri nggak mau. Dia udah susah payah bikin partiturnya.”
“Oh ya sudah.” Jawab Papa cuek. Sebenarnya sih beliau Cuma basa-basi nanyain Andhita.
Tiba-tiba Mama menyela, “Pa, jangan lupa soal itu!” katanya sambil mengedipkan sebelah mata pada Papa.
Andhita sempat melihatnya. ”Soal apa Ma?” tanyanya penasaran.
”Nanti saja, Papa yang cerita.” kata Papa.
Andhita mengerutkan kening. Nggak biasanya Mama sama Papa maen rahasia-rahasiaan gini. ”Apaan sih?” tanyanya lagi. Tapi ketika Mama mengeluarkan manisan leci dari kulkas, pertanyaannya segera terlupakan. Leci buah kesukaannya. Papa sama Mama hari ini aneh, menyajikan semua makanan kesukaan Andhita. Mestinya Andhita curiga.
Sehabis makan, Andhita duduk di ruang tamu bersama kedua orangtuanya. Dia kembali teringat soal tadi. Soal apa ya? Kok tampang Mama serius begitu? Jangan-jangan... gue mau disekolahin ke luar negeri. Asyik! Pikir Andhita.
”Dhit, Mama sama Papa mau ngomong sesuatu sama kamu.”
”Ngomong apa Pa?” tanya Andhita pura-pura gak tahu. Dia sedang berpikir. Lebih baik kemana? Amerika, Canada, atau Australia? Kayaknya sih lebih enak Amerika. Tapi Canada juga asik. Australia juga gak bakal nolak. Hehe…
“Begini, Dhit.. ini tentang masa depan kamu.” Kata Mama.
“Oh ya? Masa depan?” Tanya Andhita dengan mimik polos. Gue ngambil jurusan apa ya? Design grafis apa ilmu komunikasi? Atau fotografi! Ya fotografi! Kalau gitu ke New York saja, pikirnya sibuk.
“Ya Dhit… Papa mau kamu jangan marah dulu karena Papa sama Mama mengatur masa depan kamu. Setiap orang kan pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya.” kata Papa.
”Nggak apa-apa kok, pa. Andhita rasa, Andhita bisa berjauhan dengan Mama Papa, hidup mandiri... Andhita pasti bisa.” kata Andhita sok yakin.
Papa Mamanya tampak terkejut mendengar pernyataan anaknya.
”Apa? Kamu ngomong apa Dhit?”
Andhita mengangguk mantap. ”Ya, Andhita udah bisa duga. Papa sama Mama pasti sangat berat hati melepaskan Andhita...”
”Andhita... kalau sudah waktunya nanti, Mama sama Papa rela kok melepas kamu. Tapi kamu udah tau kalau kamu akan dijodohkan?” tanya Mama.
Andhita langsung melompat berdiri dari sofa. ”Apa !? dijodohin?!” teriaknya membuat kedua orangtuanya menutup kuping.
”Papa sama Mama mau ngejodohin Andhita?!” seru Andhita pada orangtuanya.
Kedua orangtuanya memandangnya dengan tatapan serba salah.
”Maafin Papa sama Mama Dhit... papa juga gak nyangka kalau kami harus ngelakuin ini. Tapi dia anaknya baik kok, seumur sama kamu. Begini aja, papa akan ceritakan semuanya sama kamu dari awal.” kata papanya.
”Papa sama Mama kok tega ya? Pokoknya Andhita gak mau dijodohin!! Titik.” gerutu Andhita sambil menghempaskan kembali tubuhnya ke sofa depan TV. Dia membuang muka. Huh, kirain mau disekolahin ke luar negeri. Nggak taunya mau dijodohin. Apa-apaan sih? Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Siapa juga jodohnya? Datuk Maringgih? Pikir andhita kesal.
”Sebenernya Papa juga nggak tega Dhit. Ceritanya begini, Papa punya teman baik dari kecil. Kami tumbuh bersama, sama kayak kamu dan teman-teman kamu yang berteman sejak SD itu.”
”Maksud Papa... Putri, Keyra, sama Tasha? Sori Pa. Tapi kita bertiga gak pernah kepikiran buat ngejodohin anak-anak kita nanti!” seru Andhita jengkel.
”Tenang dulu, Dhit. Masalahnya, sewaktu kami punya anak, kebetulan anak pertama Om Seno dan Papa dilahirkan pada saat yang sama, di rumah sakit yang sama, dan Papa baru bertemu kembali dengannya di rumah sakit itu setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Ketika menyadari bahwa anak Papa perempuan dan anaknya laki-laki, tiba-tiba saja kami berjanji untuk saling menjodohkan anak kami saat dewasa nanti.” jelas Papa.
Andhita melotot dan mau menjawab lagi, tapi mama mencegahnya. ”Dengar dulu cerita Papa.” dan Andhita terpaksa diam dan mendengarkan.
”Lalu kami tidak saling bertemu lagi sejak sepuluh tahun yang lalu, waktu kami berumur tujuh tahun. Dan saat perusahaan Papa sedang dalam krisis, Papa bingung mau meminta bantuan dengan siapa. Akhirnya Papa menghubungi nomor Om Seno. Dia tinggal di surabaya saat itu. Papa mendapat nomornya dari keluarganya disini. Coba tebak apa yang dia lakukan?” Tanya Papa.
“Dia memberi bantuan pada perusahaan Papa kan? Kalo gak ya Andhita gak bakalan dijodohin kayak gini. Ya kan!!” pekik Andhita. Mama sampai menutup kuping lagi mendengar suara keras Andhita.
Papa tersenyum. ”Kamu benar. Om Seno sangat baik. Dia langsung mengirimkan bantuannya sebesar lima puluh juta rupiah ke rekening Papa. Bahkan kakekmu, kalau dia masih hidup, belum tentu mau melakukan hal itu pada Papa. Setahun kemudian Papa membayar kembali hutang itu, karena kondisi perusahaan Papa sudah baik kembali. Bahkan Om Seno nggak mengenakan bunga sepersen pun. Coba lihat betapa baiknya dia.” jelas Papa.
Oh ya? Begitu baiknya sampai dia mau menjodohkan anaknya yang buruk rupa itu sama gue? Dumel Andhita dalam hati. Duh.. Papa! Papa tuh udah tua, tapi kok naif banget sih? Batin Andhita kesal.
”Kemudian, sebulan yang lalu Papa bertemu kembali dengan Om Seno. Ternyata dia sekeluarga sudah kembali lagi ke Jakarta. Dan coba kamu tebak apa yang dikatakan Om Seno!”
”Pasti dia bilang, Kamu ingat gak perjodohan yang kita lakukan tujuh belas tahun yang lalu antara kedua anak kita? Sekarang kau harus menyerahkan anakmu yang cantik itu.” jawab Andhita dramatis.
Papa tertawa, ”Hehehe... ya benar! Cuma dia nggak bilang kalau kamu cantik, soalnya kan dia belum bertemu sama kamu yang sekarang.”
Andhita memutar kedua bola matanya. Duh! Papa pura-pura gak ngerti lagi. Udah jelas Andhita yang jadi korban disini, dijadikan imbalan atas hutang piutang Papanya. Seperti anak perawan yang dikorbankan di kawah gunung berapi. Dibayangkannya tubuhnya, sedang diturunkan dengan tali, perlahan-lahan terpanggang sampai matang oleh api kawah berwarna merah yang panas dan mengepul-ngepul.
”Andhita! Kamu dengerin Papa gak sih?”
Andhita tersentak. Dia melamun rupanya.
”Andhita, Mama sama Papa nggak maksa kamu supaya kamu bisa suka sama anaknya Om Seno. Tapi seenggaknya kamu harus bisa mencoba dulu. Papa kan nggak enak kalau begitu saja membatalkan janji tujuh belas tahun yang lalu.” ujar Mama. ”Kami kan gak memaksa kamu dan anaknya Om Seno menikah sekarang. Kalau memang kalian berdua gak cocok, siapa yang bisa memaksa? Tapi setidaknya kamu harus mau kalau diundang ketemu sama dia.”
Wah.. ternyata Mama lebih diktator! Mati gue! Pikir Andhita. Gimana kalau gue dipaksa nikah sama cowok yang gue gak suka? Sekarang sih ngomongnya emang gak maksa, tapi selanjutnya gimana nanti. Begitu kan? Pikir Andhita kuatir.
”Andhita, kok kamu diem aja? Marah ya sama Papa?” tanya Papa sambil menepuk bahu anaknya.
Andhita gak menjawab. Dia menggeleng pasrah dengan terpaksa.
”Nah, begitu baru anak Papa. Bagini, sabtu ini kalian akan dipertemukan dalam acara ulang tahun adik perempuan calon tunangan kamu. Namanya Bebby.”
”Apa aku mesti pergi?” tanya Andhita lemah.
”Iya dong! Lha kan kamu yang dijodohin!” ultimatum Mama.
Duh, udah deh... kalau udah Mama yang ngomong, pasti ujung-ujungnya maksa. Nggak ada gunanya membantah. Sekarang Andhita tahu dari mana dia dapat sifat keras kepalanya. Mamanya saja seperti ini. Tapi terus terang, Andhita gak suka sama perjodohan ini. Sama sekali gak suka. Dan dia harus cari akal supaya bisa keluar dari masalah ini. Dan dia tau itu gak gampang.
***
”Dijodohin?”
Disaat yang sama, di rumah yang berbeda, terjadi argumentasi yang sama. Rendy menolak mentah-mentah dijodohkan dengan gadis yang belum pernah dilihatnya. Meski kata Mama gadis itu cantik, meski papa bilang gadis itu dari keluarga baik-baik. Apa-apaan sih? Kayak dia gak bisa nyari cewek sendiri aja.
”Rendy gak mau! Papa ngaco nih!” kata Rendy terus terang.
”Ren, denger dulu. Gimana kalau kamu lihat dulu orangnya seperti apa?” bujuk Mamanya.
”Ih Mama, kok gak rasional banget sih cara berpikirnya? Papa sama Mama kan bilang sendiri kalau Rendy belum pernah melihat orangnya seperti apa. Kayak Rendy jelek aja sampe harus dicariin pasangan segala. Gini-gini teman sekelas Rendy banyak yang ngantri tau! Apa harus diadain seyembara buat memilihkan jodoh Rendy?” katanya sok nyombong.
Papa tertawa. ”Hei, ini bukan masalah kamu mesti dijodohin, jelek, gak laku, atau bagaimana, tapi ini soal janji. Papa udah telanjur janji sama teman Papa itu. Toh Papa juga gak bisa memaksa kamu. Lebih baik kamu lihat dulu orangnya seperti apa, baru bisa kasih keputusan.”
”Oke, tapi Rendy nggak mau baru ngeliat dia di saat pertemuan Rendy dengan cewek itu. Rendy harus lihat dulu, kayak apa sih cewek yang dijodohkan dengannya tanpa dia tahu identitas Rendy sebenernya. Kalau begitu lebih enak kan? Jadi kesannya gak nolak setelah pertemuan pertama, tapi nolak sebelum bertemu, itu lebih baik kan?”
Papa mengangguk-angguk, lalu berkata, “kalau begitu Papa setuju. Kamu saja yang cari tahu sendiri Andhita seperti apa ya? Dia satu sekolah sama kamu, dia kelas 2 IPA 1. Nama lengkapnya Andhita Aradella Cahyadi. Panggilannya Andhita.”
”Andhita Aradella Cahyadi?!” tanya Rendy kaget.
Dia teringat, baru-baru ini ada cewek yang meneleponnya bernama Andhita.
“Kenapa? Kamu sudah kenal?”
“Nggak, cuma… ya udah deh Pa. pokoknya kesimpulannya gitu ya? Rendy belum memutuskan mau apa nggak lho!” kata Rendy dan langsung keluar dari ruangan itu sebelum orangtuanya sempat mengeluarkan pernyataan baru. Dasar orangtua, aneh-aneh aja! Gerutunya.
“Tunggu Ren!” panggil Papanya, lalu menyerahkan selembar foto padanya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar