Kamis, 10 Juni 2010

Lovable (part 9)

Strategi Lembut

Setelah mendengar cerita tentang kedekatan Rendy dengan Putri dan Tasha, entah mengapa Andhita jadi antipati sama cowok ini. Walaupun Rendy nggak senang dijodohkan dengannya –sama dengan Andhita- bukan berarti cowok itu bisa mengincar cewek lain semasa masih berstatus calon tunangan Andhita.
Beberapa minggu terakhir ini harus memikirkan Rendy membuatnya sangat pusing. Untung hari ini diadakan rapat OSIS untuk membicarakan acara malam kesenian. Andhita ikut rapat sebagai wakil dari vocal groupnya. Putri nggak bisa karena katanya mau ngomongin tentang perubahan interlude lagu gitu deh sama Rendy. Sebodo amat deh, pikir Andhita. Dan hari ini dia akan bertemu dengan Adit. Setelah nonton balet itu dia belum bertemu dengan Adit lagi. Setidaknya dia bisa mengalihkan masalahnya sejenak.
Di malam kesenian, bakalan banyak banget yang akan ditampilkan. Ada drama musikal, tarian daerah, modern dance, pantomim, ansambel dan masih banyak lagi.
“Hai Dhit. Elo nih yang ikut rapat? Nggak jadi Putri?” tanya Adit sambil melontarkan senyum manisnya.
”Iya Kak. Putri lagi ada urusan.” jawab Andhita tersenyum semanis-manisnya. ”Yang lain belum pada datang Kak?”
”Biasa, ngaret.”
Andhita duduk di samping Adit yang sedang menekuni catatan yang dibuatnya. Asyik! Gue bisa berduaan. Pikir Andhita.
”Hai! Gue ganggu nggak?” tiba-tiba terdengar suara.
Suara di belakangannya membuat Andhita kaget dan sudah bisa menebak siapa yang datang. Kapan dia bisa bebas dari cowok nyebelin satu ini? Gerutu Andhita dalam hati.
Rendy duduk di samping Andhita. “Asik ya yang lagi berduaan.” sindirnya berbisik.
“Ngapain lo di sini?” tanyanya ketus.
”Gue kan penanggung jawab asambel. Jadi gue yang ngewakilin untuk ikut rapat.” jawabnya santai.
Andhita langsung diam. Dan tak lama wakil-wakil yang lain datang, dan mereka pun mulai rapat. Selama rapat pun Andhita diam seribu bahasa kecuali kalau ditanya.
”Dhit, pulang naik apa?” tanya Rendy ketika rapat sudah bubar.
”Jalan kaki!” jawabnya ketus.
”Gue anterin ya, mau nggak? Gue bawa mobil.”
“Nggak usah! Gue lagi nggak mau diturunin di jalan. Lagian rumah gue kan deket.”
“Lo kok masih nyinggung itu sih? Kan gue udah minta maaf.”
“Nggak. Makasih.”
“Nggak nyesel?” tanyanya lagi.
“Nggak!” tegas Andhita.
“Yaudah kalau nggak mau, gue pulang duluan ya, daaaggh.” Katanya sambil mengelus rambutnya Andhita dan berlalu.
Sedetik Andhita terpaku di tempat. Apa yang barusan terjadi, membuatnya deg-degan sesaat. Andhita senyum-senyum sendiri sambil berjalan ke depan sekolah. Kenapa dia senang ya saat Rendy memegang kepalanya? Dia merasa aneh sendiri.
***
Rendy sedang bengong di kamarnya. Akhir-akhir ini dia jadi suka bengong, entah kenapa. Bebby masuk ke kamarnya dan tersenyum melihat Rendy sedang melongo sendirian. Dia mencabut sehelai bulu ayam dari kemoceng dan berjalan mengendap-endap, lalu mengeluskannya perlahan ke telinga belakang kakaknya. Rendy bergidik sekali, tapi nggak sadar kalau dia sedang diganggu adiknya. Bebby semakin berani, dia mengeluskan bulu ayam itu ke tengkuk Rendy. Rendy menepiskan tengkuknya dengan tangan, lalu menoleh dan melihat adiknya sedang cekikikan.
“Ngapain sih lo? Ganggu orang aja!” seru Rendy marah.
“Lagian Kakak bengong. Lagi mikirin Andhita ya?” Bebby mengambil tempat duduk di hadapan kakaknya lalu bertopang dagu.
”Mikirin Andhita? Ngapain gue mikirin dia? Selama ini cewek mana sih yang perlu gue pikirin?”
”Emang, semua cewek nggak perlu dipikirin. Kecuali Andhita, soalnya dia nggak gampang ditaklukin kan?”
Rendy melotot. ”Tahu dari mana lo?”
Bebby mengangkat bahu. ”Ada aja! Cowok kan GR-an. Kalau cewek ngejar-ngejar terus, mereka bakalan malas. Tapi kalau ceweknya cuek aja, mereka malah penasaran. Iya kan?”
Rendy mengambil koran dan menepuk lembut kepala adiknya. ”Sok tau lo!”
Bebby tertawa. ”Tapi benar kan? Benar kan Kak Rendy ada hati sama Kak Andhita?”
Rendy berdiri. ”Dia naksir cowok lain.”
“Oh, cowok yang diceritain sama Rachel itu?”
Rendy kaget. “Ngapain Rachel cerita-cerita ke elo? Dasar tuh cewek! Ember bocor!”
“Nggak, aku kok yang nanya. Kok tumben Kak Rendy mau pergi nonton pertunjukkan balet, terus Rachel cerita semuanya.”
”Dasar cewek-cewek tukang gosip!” gerutu Rendy.
“Aku sih cuma mau usul Kak.”
”Usul apa?”
”Jangan cepat menyerah. Kadang para siswi mengidolakan ketua OSIS dan mengira ketua OSIS itu naksir, padahal nggak. Ketua OSIS kan menarik karena mereka tampak sulit dijangkau. Aku rasa Andhita juga begitu terhadap Adit. Lebih baik Kakak pakai strategi lembut aja.”
”Strategi lembut?”
”Iya. Kalau Kakak nggak pengen Andhita terlepas dari genggaman, Kakak nggak boleh gampang marah. Kakak harus lebih lembut, perhatian. Tunjukkin kalau Kakak bisa ngertiin perasaan dia.”
”Sok tau banget sih lo!”
Tapi dalam hati Rendy mengakui perkataan Bebby ada benarnya juga. Dia harus menyusun rencana untuk bisa naklukin Andhita, supaya nggak penasaran lagi.
***
”Andhita, tadi Mama ketemu sama Tante Astrid. Dia ngajak kamu pergi ke Dufan besok. Pergi berempat bareng sama Rendy dan Bebby. Terus, mama bilang kamu pasti bisa. Daripada kamu malas-malasan di rumah hari Sabtu, mending kamu ikut kan?”
”Uhuk! Uhuk!” Andhita yang lagi makan langsung tersedak, lalu buru-buru minum air di depannya.
”Duh, kamu makannya pelan-pelan dong Dhit.”
”Abisnya Mama seenaknya aja bikin janji sama Tante Astrid. Kan rencana Andhita buat nonton DVD seharian jadi batal. Kenapa Mama nggak ngomong dulu sih sama Andhita?”
”Kamu kok gitu sih Dhit? Tante Astrid kan ngajak kamu ada niat baiknya juga. Biar kamu bisa lebih akrab sama keluarganya Rendy. Termasuk sama Rendynya juga.”
”Duh, Mama kok maksa Andhita gini sih? Andhita kan malas Ma...batalin aja ya?”
”Nggak bisa Dhit. Pokoknya besok dia datang ke sini pagi-pagi jemput kamu. Kalau kamu mau ngebatalin, kamu bilang sendiri aja sama Tante Astrid.” ujar Mama tersenyum menang.
Bruk! Andhita masuk ke kamarnya dan membanting pintunya. Dasar Mama, tukang maksa!
***
Keesokan harinya, Andhita bangun kesiangan. Dia nggak sempat sarapan dulu sebelum berangkat. Perasaannya sangat kesal waktu melihat mobil Tante Astrid datang, di dalamnya hanya ada Rendy. Sendirian! Tapi Andhita tetap saja nggak bisa menolak, karena Mamanya mendorong Andhita masuk ke mobil.
”Nyokab gue nggak jadi ikut Dhit. Katanya sakit perut. Bebby ada janji sama temannya. Jadi yang pergi cuma kita berdua. Kalau lo nggak mau, ya nggak apa-apa. Kita pulang lagi.” kata Rendy sambil menyetir.
Andhita membuang napas berat. “Percuma, nyokab gue malah lebih senang kita jalan berdua. Kalau sampai pulang lagi, nanti dia malah nyuruh kita pergi ke tempat lain.”
“Ternyata nyokab lo juga gencar banget ya ngedeketin lo sama gue?” ujar Rendy santai. Andhita diam.
“Kok lo diam? Masih kesal dan merasa terpaksa? Udah deh, hari ini kita baikan dulu ya. Lagian nggak ada salahnya kan kita jalan-jalan. Jadi nikmati aja.”
Andhita berpikir sebentar. ”Oke.”
“Kalau gitu senyum dong.” Kata Rendy sambil mengacak rambut Andhita.
“Jangan pegang-pegang gue!” bentaknya.
Rendy malah tertawa, “Oke..oke.. lo santai aja. Katanya udah baikan. Eh, tapi beberapa hari yang lalu, gue liat lo dirangkul Adit nggak sewot gini.”
Andhita kaget. ”Maksud lo?”
”Beberapa hari yang lalu kan gue pergi sama sepupu gue, Rachel, nonton pertunjukkan balet di TIM. Eh, gue nggak sengaja ngeliat lo jalan sama Adit. Cuma gue nggak nyapa aja, soalnya lo berdua duduknya jauh sih.” ujar Rendy santai.
”Sep..pupu?” tanya Andhita.
”Iya, sepupu gue. Elo liat kita juga ya?”
”Ng..nggak.” jawab Andhita tergagap. Jadi cewek cantik yang pergi sama Rendy itu sepupunya. Jadi… gue udah salah sangka dong? Pikir Andhita.
“Kenapa lo nggak konfirmasi dulu ke gue kalau lo bakalan jalan sama Adit? Kan kita udah bikin kesepakatan, nggak ada pihak ketiga, sebelum masalah ini selesai.”
”Sori, abisnya gue udah terlanjur janjian sama Adit. Kan nggak mungkin gue batalin hari itu juga.” Andhita sebenarnya malu juga. Rasanya kayak ketahuan selingkuh.
”Oke, gue maafin. Kalau begitu, jangan ada marah-marah lagi ya? Hari ini kita have fun aja. Setuju?”
”Setuju.” kata Andhita sambil mengangguk. Kayaknya ada yang beda sama Rendy hari ini. Dia lebih... baik. Setidaknya itu yang dirasakannya dari tadi. Rendy tidak menyebalkan seperti biasanya.
Dufan hari Sabtu ini untungnya nggak terlalu ramai, mungkin kebetulan saja. Padahal biasanya Ancol kan nggak pernah sepi pengunjung saat akhir pekan.
”Lo mau naik apa dulu?” tanya Rendy ketika mereka sudah elewati pos stempel punggung tangan, tanda mereka bisa menaiki wahana apa saja.
Andhita tertawa dan berseru, ”Halilintar, Kora-Kora, Niagara-Gara, Arung Jeram, Tornado, Kicir-Kicir, Ontang-Anting, pokoknya semuanya!”
”Lo ternyata lucu juga ya?” Rendy berkata sambil menggandeng tangan Andhita menuju wahana Kora-Kora. Andhita juga nggak menolak tangannya digandeng.
Sebenarnya acara hari ini akan sangat menyenangkan kalau kondisi Andhita dalam keadaan prima. Tapi sayangnya nggak. Kepalanya sudah mulai pusing sejak pagi tadi. Jadi tambah nyut-nyutan saat perutnya merasa mual. Mungkin gara-gara dia nggak sarapan tadi pagi, jadi masuk angin. Dadanya juga sedikit terasa sesak. Dia takut-takut asmanya yang udah lama nggak kambuh, malah datang di saat yang nggak tepat ini. Terlebih setelah turun dari Kora-Kora, Andhita langsung mengeluarkan isi perutnya.
”Keluarin deh semuanya, biar lo nggak mual lagi!” kata Rendy sambil memijat-mijat tengkuk Andhita. Ternyata cowok ini cukup pengertian juga. Tadinya Andhita pikir Rendy bakalan marah-marah kalau sampai dia ngerusak acara hari ini.
Rendy membelikannya air minum supaya tenggorokan Andhita nggak perih. “Elo mau pulang aja? Muka lo tuh pucat.”
Andhita menggeleng. “Nggak usah. Gue udah baikan kok. Yuk naik yang lain lagi!” Andhita menarik tangan Rendy.
”Lo yakin?” Rendy agak sangsi.
”Suer!” jawab Andhita.
Dasar cewek keras kepala! Pikir Rendy.
Dan benar saja, begitu turun dari Halilintar, Andhita muntah lagi untuk kedua kalinya. Karena tadi isi perutnya sudah terkuras, jadi yang keluar kini nggak banyak. Tapi kemudian perutnya terasa sakit dan lemah. Dia sedikit sulit bernapas. Tapi dia nggak bilang sama Rendy. Kemudian Rendy membelikannya Antimo.
”Kok lo beliin gue Antimo?” Andhita bingung.
“Ya iyalah… anggap aja lo mabok kendaraan. Udah deh, minum aja! Dan abis ini, kita pulang. Nggak ada main-main lagi.” Kata Rendy prihatin.
Kali ini Andhita menurut. Dia mengangguk. Mereka keluar dan menuju mobil. Rendy menuju pantai untuk mencari pintu keluar.
”Elo baik-baik aja kan? Apa perlu gue anterin ke dokter sekarang?”
”Nggak. Gue cuma masuk angin. Mungkin gara-gara gue nggak sarapan tadi pagi.”
“Jadi tadi pagi lo nggak sarapan? Kenapa lo nggak bilang? Tau gitu kan kita bisa nyari makanan dulu tadi.” ujar Rendy.
”Yaudah lah. Gue udah baikan juga. Eh Ren, stop dulu dong sebentar. Gue mau liat laut dulu.”
Rendy menurut, dan menghentikan mobilnya di pinggir pantai. Sayangnya tepi lautnya udah dibeton dan diberi pagar batu pengaman untuk mencegah erosi pantai.
“Bagus ya? Gue udah lama nggak liat laut.” Andhita membuka kaca mobil. Menghirup udara segar. Hampir saja asmanya kambuh tadi. Dia nggak mau merepotkan Rendy, makanya dia nggak bilang. Rendy menyalakan radio yang kebetulan memutar lagu slow yang lembut.
Tak lama kemudian, mungkin karena pengaruh Antimo dan hembusan sepoi-sepoi angin laut, Andhita terkantuk-kantuk dan tertidur pulas di bangku.
Rendy memandang wajah Andhita yang terlihat manis dan polos. Andhita, gue pikir lo cukup keras hati dan kuat melakukan apa aja. Ternyata elo juga cewek biasa yang bisa sakit juga. Tapi sayang, benar-benar susah buat naklukin lo, kata Rendy dalam hati.
Rendy tak tahan untuk tidak menyentuh Andhita. Perlahan jemarinya terangkat dan menyusuri pipi gadis itu. ”Dhit, jangan sakit. Cepat sembuh ya...” kata Rendy tulus. Kemudian dia menjalankan mobilnya pulang ke rumah Andhita.
***
Andhita terbangun di tempat tidurnya. Perasaan dia tadi lagi melihat laut, kok sekarang udah ada di rumah? Dia bertanya-tanya dalam hati. Mamanya memasuki kamarnya.
”Udah bangun Dhit? Tidurnya lama juga ya!”
”Sekarang jam berapa Ma?” tanya Andhita.
”Hampir jam lima sore. Tadi pas pulang, Rendy yang menggendong kamu masuk, dan kamu sama sekali nggak bangun. Dia bilang katanya kamu masuk angin gara-gara tadi pagi nggak sarapan. Kamu masih nggak enak badan? Kita ke dokter aja ya? Mama tuh tadi takut asma kamu kambuh lagi.” kata Mama.
Andhita menggeleng. ”Nggak usah Ma. Aku udah nggak apa-apa kok. Tapi Ma... tadi kata Mama... aku digendong Rendy?”
”Iah. Dia tuh baik banget ya? Perhatian banget sama kamu, juga…”
Andhita nggak mendengar kata-kata Mama selanjutnya karena dia sudah memegang pipinya yang terasa panas.
“Andhita, kamu dengerin kata-kata Mama nggak sih?”
Andhita menoleh kaget. ”Apa Ma?”
”Kalau menurut Mama, Rendy itu pasti suka sama kamu.”
Andhita membaringkan tubuhnya lagi dan menarik selimut hingga menutupi wajahnya. ”Aku nggak mau dengar Ma, aku mau istirahat lagi.”
”Apa? Tidur lagi? Kamu tuh udah hampir tidur empat jam lebih!”
Di bawah selimut, Andhita merasa jantungnya berdebar cepat. Kenapa? Kenapa Rendy baik padanya? Kalau saja cowok itu bisa lebih cuek dan menyebalkan seperti biasa, tentunya Andhita nggak akan sulit untuk tetap bertahan pada sikapnya semula, yaitu membenci Rendy.
***
Waktu berlalu cepat, tanpa terasa malam kesenian tinggal seminggu lagi. Putri memutuskan untuk mengadakan latihan intensif setiap hari dan waktu latihan diperpanjang. Karena di malam kesenian nanti mereka masing-masing akan memegang mikrofon, dan setiap kesalahan akan terdengar jelas. Maka semua setuju latihan tiap Selasa dan Kamis di aula, sisanya di rumah Putri karena di hari lain aula dipakai pendukung acara lain. Tapi sayangnya, mendadak rumah Putri harus direnovasi. Jadi mereka nggak bisa latihan di sana. Saat ini mereka baru selesai latihan di aula.
”Gimana dong? Benar-benar nggak bisa dipakai Put?” Tanya Keyra.
Tasha diam saja. Dia sudah ikut latihan lagi, tapi sekarang jadi lebih pendiam dan tidak pernah bicara lagi sama Putri. Dan kalau ingin bicara, dia pasti pakai perantara siapa saja. Misalnya waktu itu Tasha bertanya, ”Hei, kenapa kita nggak latihan tiap hari aja?” lalu Putri menjawab, tapi matanya tertuju pada Keyra, ”Boleh juga latihan tiap hari ya Key?” ya, begitulah.
”Ya, benar-benar nggak bisa. Soalnya emang ruangan latihan yang lagi direnovasi. Kalau dipaksain, nanti malah latihan kita keganggu, soalnya bakalan berisik pasti. Lagian bakalan banyak banget debunya. Inget, Andhita kan ada asma, dia udah lama nggak kambuh, jangan sampai kambuh lagi.” ujar Putri.
”Gue aja lupa kalau gue punya asma. Hehehe...” Andhita hanya nyengir. Dia juga baru ingat lagi kalau dia punya asma. Sejak lulus SMP, penyakit asmanya udah jarang banget kambuh. Waktu dia pergi ke Dufan bareng Rendy, dia takut akan kambuh, untungnya nggak. Soalnya, kalau asmanya kambuh, bukan ventolin lagi yang dia butuhin, tapi tabung oksigen. Soalnya dulu asmanya parah banget. Tapi berkat terapi yang dilakukannya, dia hampir nggak pernah ngerasa sesak lagi.
”Kalau begitu latihan di rumah gue aja.” kata Rendy.
”Hah? Nggak salah? Ke Sunter?” Tanya Andhita.
“Rumah Rendy di Sunter? Kok lo bisa tau Dhit?” Tanya Keyra.
“Ehmm…. Ya tau aja. Gue pernah nanya.” jawab Andhita gelagapan.
“Di sana ada piano?” Tanya Tasha penuh harap.
”Gue punya studio sendiri. Drum, gitar, sound system,mikrofon juga ada. Jadi kita bisa latihan pakai mic.” Kata Rendy.
“Yaudah, kalau begitu kita ke sana aja deh.” kata Putri.
Semuanya setuju. Apalagi Rendy janji, setelah selesai latihan mereka bakalan diantar pulang ke rumah masing-masing.
***
Kini, saat Andhita menjejakkan kakinya di rumah Rendy, terasa agak berbeda. Rumah itu terlhat lebih mewah dari kedatangannya yang pertama. Mungkin karena waktu pertama kali ke sana dia lebih menguatirkan pertemuannya dengan cowok yang akan dijodohkan dengannya ketimbang memerhatikan rumah. Pertemuan kedua, tidak terlalu ada kesan mendalam karena Rendy telahmenyita seluruh perhatian Andhita dengan sikap nyolotnya. Tapi ketika mobil Rendy berhenti di depan rumah, Andhita merasa kuatir. Gimana kalau keluarganya Rendy membocorkan bahwa Andhita sudah dijodohkan dengan cowok itu? Ngeri sekali Andhita membayangkan ketiga temannya akan sangat marah padanya. Padahal ini bukan salahnya. Toh ide tentang perjodohan ini bukan berasal darinya, melainkan dari kedua orang tua mereka, yang masih aja memikirkan perjodohan di zaman modern ini.
”Ren, gimana kalau nyokab lo ngebocorin kalau gue...” bisik Andhita ketika dia mendapat kesempatan berjalan di samping Rendy sementara yang lain sibuk mengagumi rumah Rendy yang megah dari luar pagar.
”Tenang aja. Rumah gue lagi nggak ada orang. Bebby lagi les, bonyok gue lagi di kantor.” Balas Rendy berbisik.
“Terus besok-besok gimana?”
“Gue bakalan konfirmasi dulu ke orang rumah gue supaya mereka nggak bakalan bilang apa-apa. Ntar malam gue bakalan cerita ke mereka.”
“Bagus deh.” Bisik Andhita lega. Setidaknya dia nggak bakalan dijutekin Putrid an Tasha untuk sementara waktu. Dan kalau bisa sampai kapan pun dia nggak akan bilang Rendy adalah cowok yang dijodohkan dengannya. Toh perjodohan mereka juga belum tentu berlanjut.
“Teman-teman, yuk masuk! Jangan malu-malu. Kita langsung ke lantai dua. Di sana ada studio pribadi gue.” seru Rendy pada semuanya.
Mulai lagi deh nyombongnya, pikir Andhita. Tapi lama-lama dia jadi biasa. Lagi pula kayaknya cuma gue yang mikir Rendy itu sombong. Yang lainnya kayaknya biasa aja tuh.
Mereka menuju lantai atas dan terkagum-kagum melihat tangganya saja dilapisi karpet merah seperti layaknya hotel berbintang. Dan seperti yang Rendy bilang, dia memang punya studio pribadi yang lengkap. Jadi dia memang bukan tukang ngecap.
“Ren, orangtua lo lagi nggak ada di rumah?” Tanya Putri sambil celingak celinguk.
“Nggak. Mereka lagi di kantor.” kata Rendy sambil memasang kabel mikrofon ke sound system.
”Yah, sayang ya...padahal gue mau kenalan sama mereka.” cetus Putri.
”Wah, hebat!” seruan kekaguman Tasha menyela ucapan Putri. ”Kita benar-benar latihan pakai mikrofon nih?”
Andhita melirik Rendy yang tersenyum bangga.
“Ya iyalah. Kalian kan belum coba nyanyi pakai mikrofon. Suara kalian bisa lebih ketauan kalau salah.” goda cowok itu.
”Wah, jangan begitu dong.” sela Keyra.
“Maksud gue, karena itu kita mesti latihan yang tekun, jangan sampai fals. Malu tau!” kata cowok itu.
Andhita memandang dinding studio yang penuh dengan foto Polaroid. Semuanya foto Rendy, baik sendiri atau bersama dengan teman-teman dan keluarganya. Andhita melihat foto Rendy bersama seorang cewek. Agak banyak sehingga Anhdita jadi curiga cewek itu punya hubungan istimewa dengan Rendy. Lagi pula kalau dilihat, pose mereka mesra juga.
“Ini siapa?” tanya Andhita penasaran. Rendy mengangkat wajahnya dan memandang arah yang ditunjukkan Andhita. Tiba-tiba wajahnya berubah dingin.
“Teman.”
Keyra ikut melihat foto itu. “Mesra banget. Pacar lo ya Ren? Apa karena rambutnya panjang ya, kok mukanya mirip Andhita?”
Tiba-tiba Rendy menghampiri dinding dan menurunkan semua foto polaroid yang ada di situ.
”Sebenarnya udah lama gue pengen ganti dekorasi. Tapi gue pasti selalu lupa. Mumpung lagi ingat, gue copot dulu aja deh.”
Andhita merasakan perasaan aneh yang timbul di hatinya. Sama seperti malam di mana saat dia diturunkan di jalan gara-gara Andhita bertanya soal Claire. Kalau cewek itu cuma teman, kenapa seemosional itu Rendy menanggapnya?
”Kayaknya bekas pacar.” bisik Putri pada Andhita yang ada di sampingnya. Andhita diam saja.
”Yuk, kita mulai latihan.” kata Rendy kembali ceria, seolah-ola tidak ada yang terjadi. ”Gue harap kalian suka pizza soalnya gue tadi udah nyuruh sopir gue buat beli pizza buat kita.”
”Asyik!!” teriak semuanya.
Mereka latihan lama juga, tanpa terasa satu jam sudah berlalu. Pizza sudah datang dan mereka menikmatinya bersama-sama.
”Lebih enak latihan di rumah Rendy ya? Bisa ditraktir pizza. Besok apa lagi nih Ren?” kata Keyra. ”Daripada di rumah Putri, ngambil minum aja mesti sendiri.”
”Oh, gitu ya?” ujar Putri pura-pura marah.
”Tapi menurut gue, lagi kita ini masih kurang bagus. Tapi apanya ya?” sela Andhita.
Tasha yang pendiam langsung menyela, ”Gue rasa kita kurang pengahayatan. Menyanyi tanpa menghayati lagu kan sama aja kayak robot.”
”Benar!” tukas Rendy. ”Kalian harus bisa lebih mengahayati lagu ini. Percuma aja nyanyi lagu bagus tapi kalian asal nyanyinya.”
”Abis mau gimana lagi? Bukannya kita udah cukup bagus? Nggak fals? Gimana kita bisa ngebedain yang pakai pengahayatan dengan yang nggak?” tanya Keyra.
Rendy berkata serius. ”Pernah seseorang berkata sama gue kalau dia selalu menyanyi dengan hati. Itu sebabnya kalau dia nyanyi lagu sedih, dia bisa menangis. Kalau dia menyanyi lagu gembira, semangatnya bisa bangkit. Dia...” tiba-tiba wajah Rendy berubah dingin kembali.
”Apa...elo sedang ngomongin cewek yang di foto tadi?” Tanya Keyra terus terang. Putri langsung menyikut Keyra. Keyra meringis kesakitan.
”Ehm...gue nggak mau membicarakannya.” kata Rendy bangkit berdiri lalu pura-pura membersihkan kardus pizza yang berserakan.
Andhita juga jadi penasaran, kenapa sikap Rendy jadi begitu. Dia lalu berusaha mencairkan suasana yang beku karena sikap rendy barusan. ”Begini aja. Kita nyoba di rumah masing-masing nyanyiin lagu A Whole New World. Di kamar tidur kek, di kamar mandi kek. Pokoknya itu jadi PR buat kita, gimana caranya supaya kita bisa menghayati lagu itu. Latihan besok kita evaluasi lagi.”
“Bagus, gue setuju. Selama kita bisa memperbaiki kualitas nyanyian kita, gue setuju kita mengadakan obervasi semacam itu.” Kata Putri.
Rendy tersenyum. “Gue senang kalian menaruh minat yang cukup besar terhadap musik. Di dunia ini, selain musik dan olahraga, nggak ada hal lain yang benar-benar gue sukai.”
“Termasuk cewek?” pancing Keyra.
“Yup!” sahut Rendy yakin.
Andhita mencibir tak percaya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar